Jomplang Bisnis Pinjol 2024, Hampir Seperempat Penyelenggara Terjebak Kredit Macet Tinggi

Bisnis.com,13 Nov 2024, 10:30 WIB
Penulis: Akbar Maulana al Ishaqi
Ilustrasi P2P Lending. /Freepik.com

Bisnis.com, JAKARTA - Para pelaku industri fintech P2P lending alias pinjaman online (pinjol) masih optimistis dengan prospek bisnis P2P meskipun dihadapkan dengan sederet persoalan mulai dari tata kelola perusahaan, kepercayaan lender, kredit macet (TWP90), hingga literasi keuangan masyarakat.

Persoalan kredit macet misalnya, tercatat 22 dari 97 perusahaan terpantau memiliki kredit macet yang mengkhawatirkan yakni di atas 5%. Meski demikian, jika seluruh aset industri digabung kredit macet ini turun menjadi 2,38% per September 2024.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tiar Karbala mengatakan meski banyak tantangan pertumbuhan fintech lending masih sangat menjanjikan. Menurutnya, fintech P2P lending akan terus berperan penting dalam menjangkau segmen masyarakat yang belum bankable. 

Dari segi tata kelola, Tiar mengatakan inovasi teknologi membuat proses pembiayaan semakin efisien dan terjangkau, dan memungkinan fintech lending untuk dapat berperan lebih besar dalam mendorong pertumbuhan UMKM dengan menyediakan akses pembiayaan yang lebih mudah dan cepat.

"Kualitas kredit yang dipengaruhi oleh stabilitas ekonomi global dapat berdampak pada industri. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri untuk menjaga kepercayaan pengguna terhadap layanan fintech lending," kata Tiar kepada Bisnis, dikutip Selasa (12/11/2024).

Optimisme juga diutarakan oleh penyelenggara P2P Lending, Modalku. Arthur Adisusanto, Country Head Modalku Indonesia mengatakan berdasarkan studi yang dilakukan AFPI dan EY Parthenon, pada 2026 nanti diperkirakan akan ada gap financing sektor produktif mencapai Rp2.400 triliun.

Gap tersebut yang menurut Arthur akan menjadi peluang pertumbuhan pendanaan P2P lending ke depan akan sangat menjanjikan. Untuk menyambut peluang tersebut, Arthur menilai dukungan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan akan menjadi faktor penting yang memperkuat landasan bagi perkembangan industri fintech P2P lending. 

"Meskipun begitu, tantangan seperti risiko kredit tetap perlu diantisipasi, sehingga strategi mitigasi yang efektif harus disiapkan agar industri ini bisa terus tumbuh dengan sehat," kata Arthur.

Sementara itu, Chief Executive Officer PT Teknologi Merlin Sejahtera (UKU) Tony Jackson juga melihat prospek bisnis P2P lending di Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh. 

Untuk memitigasi tantangan yang ada, Tony mengatakan UKU akan fokus pada pengendalian risiko melalui analisis big data dan komunikasi aktif dengan pelanggan, untuk meningkatkan kesadaran akan pengelolaan keuangan yang baik dan pembayaran tepat waktu.

"Kami masih melihat adanya peluang, meskipun dihadapkan pada tantangan dalam pengendalian risiko dan kebutuhan inovasi produk serta layanan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan," kata Tony.

Perusahaan penyelenggara P2P lending lainnya, PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia atau Akseleran menargetkan penyaluran pinjaman hingga akhir 2024 ini mencapai Rp3,11 triliun atau tumbuh 10% dari tahun lalu.

Group CEO & Co Founder Akseleran Ivan Nikolas mengatakan target tersebut harusnya lebih tinggi, akan tetapi karena faktor penurunan BI rate dan faktor demand pinjaman tidak setinggi perkiraan awal membuat targetnya terpangkas.

Meski begitu, Ivan optimis prospek pembiayaan P2P lending ke depan masih akan bagus. Namun, Ivan berharap adanya dukungan regulasi OJK berupa peningkatan batas atas pendanaan kepada sektor produktif menjadi Rp10 miliar.

 "Ini yang kami nanti-nanti. Perubahan batas atas maksimal jumlah pinjaman khusus untuk pinjaman produktif. Kalau ini gol, di satu sisi pelaku usaha menengah akan sangat terbantu. Di sisi lain volume kami bisa naik. Pendapatan naik, laba juga makin sehat," kata Ivan.

Menampung masukan dari para pemain P2P lending, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi memastikan OJK dalam membuat regulasi selalu mengedepankan ruang-ruang untuk pengembangan dan penguatan industri P2P lending.

"Peraturan kami tidak boleh lagi terlalu bertumpu atau menitikberatkan pada mengawasi dan mengatur, tapi tidak membuka ruang untuk pengembangan dan penguatan. Itu pasti keliru. Jadi silakan disuarakan sehingga aspek penguatan dan pengembangan semakin mendapat porsi yang lebih besar di pengaturan yang diterbitkan OJK," kata Hasan.

Secara industri, penyaluran pembiayaan P2P lending sejak 2017 memang mengalami pertumbuhan signifikan. AFPI mencatat, sejak industri P2P lending beroperasi di Indonesia pada 2017 silam telah menyalurkan pinjaman mencapai Rp950 triliun dengan total borrower mencapai 135 juta.

Sementara sepanjang 2024 ini, hingga September 2024 outstanding pinjaman P2P lending mencapai Rp74,48 triliun atau tumbuh 33,73% year on year (yoy) dibanding pada periode yang sama pada tahun sebelumnya. Dari segi kualitas pinjaman, TWP90 industri masih aman di level 2,38% bahkan membaik secara tahunan dibanding 2,82%.

Namun bila dibedah, masih terdapat sederet tantangan. Misalnya dari pemain yang mencatat kredit macet tinggi. Hingga September 2024, terdapat 22 penyelenggara P2P lending mencatatkan kredit macet (TWP90) di atas 5%. Jumlah tersebut setara 22,68% dari total 97 penyelenggara P2P lending yang saat ini terdaftar di OJK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

  1. 1
  2. 2
Tampilkan semua
Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini