Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah tantangan bakal dihadapi oleh para pelaku industri asuransi, yang diperkirakan dapat menjadi penghambat utama bagi pertumbuhan pada 2025.
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengungkap ada empat tantangan yang masih dihadapi industri asuransi. Empat tantangan tersebut antara lain kenaikan klaim akibat inflasi medis global, perubahan regulasi terkait prinsip utmost good faith, pelemahan daya beli masyarakat, serta tingkat penetrasi asuransi yang rendah.
Kenaikan klaim akibat inflasi medis global sebenarnya telah dirasakan industri asuransi jiwa sepanjang 2024 dan diprediksi berlanjut pada tahun depan.
Menurut proyeksi Mercer Marsh Benefits (MMB), inflasi medis di Indonesia diperkirakan akan mencapai 14,6% pada 2024. Inflasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti inflasi umum, kemajuan teknologi medis, meningkatnya permintaan layanan kesehatan di masyarakat, dan ketergantungan pada impor alat kesehatan dan bahan baku farmasi.
Bahkan, sejak pandemi Covid-19, inflasi medis di Indonesia telah mencapai 13,6% dan diprediksi akan terus meningkat hingga dua digit pada 2024.
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan kenaikan klaim akibat inflasi medis global memaksa perusahaan asuransi untuk mempertimbangkan penyesuaian premi agar dapat mengimbangi tingginya risiko klaim yang dihadapi.
“Langkah ini diperlukan agar perusahaan tetap mampu menjaga keberlanjutan operasional sekaligus memberikan layanan yang optimal bagi para pemegang polis,” kata Togar kepada Bisnis, pada Minggu (24/11/2024).
Dia berpendapat, penyesuaian ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara proteksi yang diberikan dan kemampuan perusahaan untuk terus memenuhi kebutuhan pemegang polis secara berkelanjutan.
Togar juga menyoroti adanya penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga kebutuhan pokok, banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja, adanya aturan baru terkait perpajakan yang mengakibatkan naiknya beban pajak masyarakat. Hal tersebut akan berakibat pada minat masyarakat untuk membeli produk asuransi jiwa menjadi turun.
Di tengah kondisi seperti ini, dia berpendapat masyarakat cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokoknya terlebih dahulu, sementara asuransi belum menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Tantangan berikutnya adalah proses uji materi terkait prinsip dasar utmost good faith yang diatur dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Togar mengatakan apabila pasal tersebut dihilangkan, prinsip itikad baik maksimal yang selama ini mengatur hubungan antara perusahaan asuransi dan nasabah akan terganggu, yang berpotensi meningkatkan risiko moral dan penyalahgunaan informasi dari nasabah. Hal tersebut dapat berujung pada peningkatan kasus fraud dan ketidakpastian dalam proses klaim asuransi.
“Oleh karena itu, perusahaan asuransi perlu mempersiapkan langkah mitigasi untuk menjaga kualitas layanan sekaligus memastikan integritas data yang diperoleh dari nasabah,” katanya.
Terakhir adalah tingkat penetrasi asuransi jiwa yang masih rendah. Togar mengatakan bukan menjadi hal baru, masalah penetrasi asuransi jiwa yang rendah masih menjadi tantangan yang sampai saat ini belum bisa terurai.
“Meskipun literasi masyarakat terhadap asuransi mulai meningkat, namun faktor lain seperti melemahnya daya beli semakin memperkecil kesempatan perusahaan untuk memperluas segmen pasar,” katanya,
Namun demikian, AAJI optimistis tantangan tersebut dapat diatasi. Secara keseluruhan, Togar melihat, meski 2024 membawa tantangan yang kompleks, terdapat pula peluang besar bagi industri asuransi jiwa.
“Dengan adaptasi dan strategi mitigasi yang cermat, perusahaan asuransi dapat menjaga stabilitas, mempertahankan kepercayaan publik, dan mendukung pertumbuhan industri yang berkelanjutan,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel