Outlook 2025: Asuransi Kredit Hingga Sertifikasi Agen jadi Tantangan Industri Perlindungan

Bisnis.com,04 Des 2024, 23:55 WIB
Penulis: Anggara Pernando
Direktur Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar dalam diskusi outlook industri asuransi 2025./Istimewa

Bisnis.com, Jakarta – Industri asuransi Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar untuk menentukan arah bisnis pada 2025. Termasuk program pemerintah yang dilaksanakan secara besar-besaran. 

"Yang paling penting adalah bagaimana kondisi ke depan ini, dengan program pemerintah yang target 8%, industri asuransi hadir di situ," kata Direktur Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar dalam diskusi Insurance Outlook: Bagaimana Kondisi Perasuransian Nasional 2025 dan Era Pemerintahan Baru? yang ditaja oleh Kupasi, Rabu (4/12/2024).

Dia juga menjelaskan ada enam isu utama yang menjadi sorotan regulator dan pelaku industri, mulai dari permodalan hingga tata kelola untuk 2025 mendatang.

Munawar menyebut bahwa permodalan menjadi salah satu isu paling mendapat sorotan bagi perusahaan asuransi. Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023, perusahaan asuransi wajib memenuhi peningkatan modal secara bertahap hingga 2026 dan 2028. Rinciannya, perusahaan asuransi minimal memiliki ekuitas Rp250 miliar 2 tahun lagi dan naik menjadi Rp500 miliar pada 2028. Peningkatan modal ini akan menentukan keberlanjutan operasional perusahaan asuransi.

Saat yang sama, perusahaan yang memasarkan asuransi kredit harus memastikan kesiapannya. Pasalnya berdasarkan POJK No. 20 tahun 2023, perusahaan asuransi yang hendak menjual asuransi kredit dan suretyship harus memiliki ekuitas Rp250 miliar per 13 Desember 2025. Selanjutnya asuransi kredit dan suretyship  hanya boleh dijual oleh perusahaan asuransi yang memiliki rasio ekuitas 150%. Aturan ini dirancang untuk melindungi konsumen dan menjaga stabilitas sektor asuransi.

Selain itu, tantangan serupa juga dirasakan di segmen asuransi kesehatan, yang mengalami tekanan besar akibat inflasi medis. Riset Mercer menunjukkan inflasi medis mencapai 14%, memaksa perusahaan asuransi untuk menaikkan premi agar tetap kompetitif dan menghindari kerugian besar. 

Akan tetapi, dalam pantauan lapangan OJK terdapat perusahaan asuransi yang melakukan perang harga. Oleh karena itu, Munawar mengingatkan dalam pemasaran asuransi kesehatan ini dilakukan manajemen risiko yang kuat agar tidak menimbulkan masalah bisnis dan melahirkan risiko keberlanjutan industri.

Dalam aspek lain, Munawar menegaskan bahwa implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117, atau IFRS 17, tidak dapat ditunda lagi. Aturan baru ini mengubah cara pelaporan keuangan perusahaan asuransi dengan menekankan transparansi dan akuntabilitas. OJK telah mempersiapkan implementasi ini selama dua tahun terakhir, sehingga perusahaan harus segera menyesuaikan diri untuk menghindari risiko ketidakpatuhan.

Dia juga menekankan OJK terus mendorong digitalisasi di sektor asuransi. Termasuk akan mendorong informasi terintegrasi berbasis host-to-host. Teknologi ini akan meningkatkan efisiensi proses layanan pelanggan, underwriting, reasuransi, hingga pengelolaan data pemegang polis. Munawar optimistis langkah ini dapat meningkatkan keandalan dan kepercayaan terhadap industri asuransi.

Namun, tantangan lain yang tidak kalah penting adalah standar etika usaha. Munawar menyoroti banyaknya pelanggaran tata kelola di industri ini yang tidak diiringi sanksi tegas dari asosiasi terkait. Ia membandingkan dengan fintech yang meski memiliki modal lebih kecil, namun mampu menunjukkan tata kelola yang lebih baik. Menurut Munawar, asosiasi seharusnya memiliki peran lebih aktif dalam mengawasi dan menegakkan aturan, termasuk memberikan sanksi kepada anggota yang melanggar.

Isu kebencanaan juga menjadi perhatian, mengingat Indonesia rentan terhadap risiko alam. Munawar mengingatkan bahwa perubahan iklim meningkatkan potensi kerugian akibat bencana, seperti yang terlihat dari kejadian siklon tropis pada 2021. Hal ini memerlukan langkah mitigasi yang lebih baik dari sektor asuransi, terutama dalam menghadapi potensi risiko kebencanaan di masa mendatang.

Di sisi lain, faktor eksternal seperti ketidakpastian geopolitik global, perang dagang, dan konflik di Timur Tengah juga berpotensi memengaruhi industri asuransi. Munawar mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan stagnan di angka 3,2 persen, sementara Indonesia diperkirakan tumbuh lebih tinggi, yakni 5,2 persen. Namun, pemerintah memiliki target ambisius untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8%.

Pemerintah juga telah menetapkan sejumlah program yang membuka peluang besar bagi industri asuransi, seperti penyediaan tiga juta rumah, makan gratis, asuransi wajib, dan implementasi PPN sebesar 12%. Program ini diharapkan mendorong pertumbuhan bisnis di segmen asuransi marine cargo, pertanian, dan lainnya. Munawar menekankan bahwa industri asuransi harus siap untuk hadir dan berkontribusi dalam mewujudkan target pemerintah tersebut.

Yulius Bhayangkara, Ketua Umum Dewan Asuransi Indonesia (DAI) periode 2024-2027, menambahkan bahwa industri asuransi juga perlu mempercepat langkah untuk membangun kepercayaan publik. Salah satu langkah yang tengah dilakukan adalah penyusunan kode etik dan penyelarasan standar pendidikan serta sertifikasi. Yulius berharap dengan adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan manajerial, tenaga kerja di sektor asuransi dapat menjadi lebih kompeten dan mendukung pertumbuhan industri.

Wahyudin, Ketua Umum Kupasi mengingatkan sejumlah isu besar lain yakni kewajiban spin-off bisnis syariah yang juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, kepastian penjaminan polis perlu segera dituntaskan untuk memberikan perlindungan maksimal bagi nasabah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini