Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berharap bertambahnya jumlah perusahaan pembiayaan atau leasing yang menyediakan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) juga dibarengi dengan penguatan credit scoring agar menjaga kredit macet atau non performing financing tetap terjaga aman.
Sampai Oktober 2024, jumlah perusahaan pembiayaan yang menyediakan BNPL bertambah menjadi tujuh perusahaan. Hal itu diikuti dengan pertumbuhan pembiayaan BNPL sebesar 63,89% (year on year/YoY) menjadi Rp8,41 triliun. Di sisi lain, non performing financing (NPF) gross juga terkerek ke level 2,76% dibanding 2,60% per September 2024.
"Kita harap credit scoring yang dilakukan perusahaan pembiayaan dalam mengukur kemampuan bayar di BNPL itu lebih baik. Kita harap ada peraturan yang mendorong ke hal tersebut," kata Huda kepada Bisnis, Kamis (19/12/2024).
Huda menilai pembiayaan BNPL dalam perbankan lebih ketat karena perbankan memiliki sistem yang lebih kaku. Perbankan, kata Huda, dapat melihat historis keuangan dari calon nasabah yang ingin menggunakan layanan BNPL.
"Bagaimana di perusahaan pembiayaan kita harap ada di sisi credit scoring mereka. Ketika mereka mengevaluasi bahwa si A mendapat plafon sekian, si B sekian, itu berdasarkan data yang lebih valid, lebih akurat untuk bisa menggambarkan kemampuan membayar seseorang," kata Huda.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi melihat peningkatan pembiayaan BNPL hingga Oktober 2024 ini didorong oleh demand masyarakat yang juga meningkat seiring kondisi perekonomian yang menurutnya sedang tidak baik.
"Sehingga mencicil dianggap sebagai cara mudah memiliki barang tanpa perlu menyiapkan uang besar di awal. Hanya saja, ini laksana pinjol. Ada potensi gagal bayar. Apalagi jika tidak ada seleksi siapa boleh pay later siapa yang tidak boleh. Sebab kalau semua boleh, siap-siap kredit macet," kata Heru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel