Bisnis.com, JAKARTA – Industri perbankan sedang mencermati dampak penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik menjadi 12% pada awal 2025. Simpanan nasabah di bank berpotensi tergerus lantaran daya beli masyarakat yang juga menunjukkan tren penurunan.
Direktur Bisnis PT Bank Neo Commerce Tbk. alias BNC (BBYB) Aditya Wahyu Windarwo memandang bahwa perbankan cenderung menunggu implementasi dari kebijakan itu, lebih lagi dengan adanya stimulus ekonomi yang disiapkan pemerintah sebagai kompensasi.
“Tetapi menurut saya penjelasan itu belum selesai, sehingga kami di industri masih meng-asses [dampak PPN 12%],” katanya menjawab pertanyaan Bisnis dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Dia lantas menjelaskan bahwa sebagai bank digital, BNC turut bersaing dengan bank konvensional lainnya dalam penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dari masyarakat, sehingga kondisi likuiditas juga dirasa sama ketatnya.
Untuk mengatasi situasi ini, pihaknya akan menjajal sejumlah inisiatif pada 2025, salah satunya dengan memperkuat komponen current account savings account (CASA) alias dana murah perseroan.
Menurut Aditya, hal ini bertujuan untuk menurunkan biaya dana (cost of fund) yang dikeluarkan, sekaligus sebagai sarana untuk mengerek naik nilai aset yang dimiliki Bank.
“Jadi, kita akan melihat forecast dari kenaikan asetnya seperti apa, makanya DPK akan disesuaikan, tetapi yang difokuskan adalah dana murahnya,” tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) Indra Utoyo juga melihat bahwa PPN 12% menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan, di samping adanya kenaikan harga bahan bakar minyak, tambahan potongan untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), potongan untuk program pensiun tambahan, serta kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Menurutnya, kebijakan yang dapat menimbulkan beban terhadap daya beli masyarakat memiliki korelasi dengan pertumbuhan segmen retail bank.
“Hal ini sudah terindikasi dengan penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang terus turun, dari 106,37 pada Mei 2024 menjadi 105,93 pada September 2024,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (21/11/2024).
Senada, Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang menggarisbawahi dampak penerapan PPN 12% sebagai hal yang patut diwaspadai.
Nasabah melakukan transaksi melalui aplikasi Allo Bank di Jakarta, Selasa (4/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Meskipun dianggap perlu untuk menambah penerimaan negara, kenaikan PPN berpotensi memicu inflasi harga barang serta melemahkan daya beli masyarakat.
“Jika konsumsi melemah akibat inflasi, pemulihan ekonomi bisa terhambat. Oleh karena itu, keseimbangan antara penyesuaian fiskal dan perlindungan daya beli sangat penting,” katanya dalam siaran pers, Senin (2/12/2024).
Di sisi lain, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa juga mengungkapkan potensi penurunan tren tabungan masyarakat imbas kebijakan serupa, yang dibarengi dengan penurunan daya beli.
“Itu paling enggak dalam jangka pendek akan mempengaruhi tren tabungan. Saya pikir dalam keadaan sekarang pun sudah cenderung menurun,” katanya saat ditemui di kantornya, Selasa (17/12/2024).
Proyeksi yang tak jauh berbeda juga berlaku bagi kinerja perbankan, dalam hal ini penghimpunan DPK. LPS memprakirakan laju pertumbuhan DPK bank ke depan berkisar pada rentang 6%–7%, meskipun tetap bergantung pada dinamika perekonomian ke depan.
“Sampai sekarang, sih, kami belum melihat dampak yang terlalu signifikan dari kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, terhadap DPK juga. Seandainya ada pun, mungkin dalam jangka pendek setahun mungkin baru kelihatan kalau uangnya dibelanjakan dengan baik dan kita berhasil membalik arah pertumbuhan ekonomi,” tutur Purbaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel