Industri Asuransi 2025 Diprediksi Alami Kontraksi, Ini Tantangan dan Peluangnya

Bisnis.com,22 Des 2024, 18:06 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Karywan beraktivitas di dekat logo-logo asurani di kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Rabu (3/7/2024)./Bisnis-Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA— Industri asuransi dan reasuransi diprediksi akan menghadapi periode penuh tantangan pada 2025. 

Dosen dan praktisi manajemen risiko sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), Wahyudin Rahman, memproyeksikan tren penurunan di sektor ini seiring dengan berbagai perubahan signifikan yang akan berdampak pada struktur perusahaan, permodalan, bisnis, dan operasional.

“Industri asuransi dan reasuransi pada 2025 cenderung menurun karena akan memasuki periode perubahan signifikan yang akan berdampak pada struktur perusahaan, permodalan, aspek bisnis, dan operasional,” kata Wahyudin kepada Bisnis.com, Minggu (22/12/2024). 

Menurut Wahyudin, setidaknya ada beberapa tantangan utama yang dihadapi industri asuransi ke depan. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah implementasi standar akuntansi baru IFRS 17 atau PSAK 117 yang akan mulai berlaku pada Januari 2025.

Menurutnya pemberlakuan IFRS 17/PSAK 117 pada Januari 2025 akan menyebabkan kontraksi pendapatan premi perusahaan dan industri secara keseluruhan, karena IFRS 17/PSAK 117 memperkenalkan metode pencatatan pendapatan yang lebih ketat dan berbasis kewajiban.  Selain itu, proses pemisahan unit syariah dari perusahaan asuransi konvensional juga menjadi tantangan besar yang harus dihadapi industri ini. 

Wahyudin menilai, pemisahan tersebut berpotensi memicu gelombang akuisisi dan merger, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pemain di sektor asuransi.

“Proses pemisahan unit syariah dari perusahaan konvensional dan peningkatan aksi akuisisi serta merger dalam rangka memenuhi ketentuan regulasi pemisahan dan permodalan yang berlaku mulai tahun 2026 diprediksi akan mengurangi jumlah penyedia layanan asuransi konvensional dan syariah,” katanya.

Lebih lanjut, Wahyudin mengingatkan bahwa berkurangnya jumlah perusahaan asuransi ini bisa mempengaruhi persaingan pasar, ketersediaan produk, serta pilihan nasabah.

“Penurunan ini berpotensi berdampak pada persaingan pasar, ketersediaan produk, dan pilihan bagi nasabah,” tambahnya.

Di sisi lain, industri asuransi juga menghadapi tantangan dalam pemenuhan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Wahyudin menyoroti pentingnya kolaborasi antara lembaga pendidikan asuransi dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) untuk meningkatkan kompetensi SDM di sektor ini.

“Pemenuhan SDM berkualitas melalui harmonisasi dan kolaborasi pendidikan asuransi melalui Lembaga Pendidikan dan LSP serta regional ASEAN,” ujarnya.

Namun, di tengah tantangan tersebut, Wahyudin juga melihat adanya peluang pertumbuhan bagi industri asuransi. Regulasi dan program pemerintah di sektor asuransi dipandang dapat menjadi pendorong pertumbuhan, salah satunya melalui penerapan asuransi wajib tanggung jawab pihak ketiga (TPL) untuk kendaraan bermotor.

“Industri ini juga masih berpeluang bertumbuh dari penerapan regulasi dan program pemerintah seperti asuransi wajib tanggung jawab pihak ketiga (TPL) untuk kendaraan bermotor yang akan menambah pangsa pasar asuransi umum,” jelas Wahyudin.

Tak hanya itu, meningkatnya minat masyarakat terhadap produk asuransi tradisional dan asuransi yang berhubungan dengan bencana, kargo, serta infrastruktur juga menjadi pendorong positif bagi industri ini.

“Meningkatnya minat pada produk asuransi tradisional dan juga terdapat potensi pertumbuhan dalam produk asuransi untuk bencana, cargo, dan infrastruktur seiring dengan proyek ketahanan pangan dan pembangunan nasional pemerintah,” ungkapnya.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat aset industri asuransi mencapai sebanyak Rp1.133,58 triliun per Oktober 2024. 

Angka tersebut meningkat 2,98% secara tahunan (year on year/YoY) dari posisi yang sama pada tahun sebelumnya. Aset industri asuransi tersebut terdiri dari asuransi komersial yang mencapai Rp914,03 triliun yang mana naik sebanyak 4,31% YoY.  Kemudian asuransi non komersial, yang total asetnya tercatat sebanyak Rp219,55 triliun atau menurun 2,20% YoY. 

Dari sisi premi, akumulasi pendapatan premi asuransi komersial naik 2,8% YoY atau mencapai sebanyak Rp271,63 triliun. Terdiri dari premi asuransi jiwa yang tumbuh 2,74% YoY dan premi asuransi umum dan reasuransi yang tumbuh 2,87% YoY. 

Adapun premi asuransi jiwa pada Oktober 2024 mencapai sebanyak Rp150,53 triliun. Premi asuransi jiwa, walaupun hanya tumbuh 2,74%, tetapi mengalami perbaikan dibandingkan tahun lalu. Kala itu preminya mengalami penurunan 6,93% YoY yang hanya Rp146,52 triliun per Oktober 2023.

Sementara itu, premi industri asuransi umum mencapai sebanyak Rp121,10 triliun per periode tersebut, yang mana mengalami kenaikan 2,87% secara tahunan (year on year/YoY).  Pertumbuhan tersebut lebih lambat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun lalu. Di mana premi industri asuransi umum dan reasuransi mencapai sebanyak Rp117,72 triliun yang mengalami peningkatan 15,86% yoy per Oktober 2023.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Reni Lestari
Terkini