Bisnis.com, JAKARTA — Kasus gagal bayar yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex dan IndoBharat menyoroti peran penting asuransi kredit dalam melindungi perusahaan dari risiko piutang tak tertagih.
Dalam situasi ini, IndoBharat mengasuransikan tagihannya terhadap Sritex, sehingga ketika Sritex tidak mampu melunasi kewajibannya, perusahaan asuransi yang akhirnya melunasi piutang tersebut.
Menurut Wahyudin Rahman, dosen dan praktisi manajemen risiko yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), asuransi yang digunakan dalam kasus ini merupakan asuransi tagihan piutang, bagian dari asuransi kredit perdagangan.
“Ini dirancang untuk melindungi perusahaan dari risiko gagal bayar oleh pembeli atau mitra bisnis. Dalam kasus ini, asuransi kredit seharusnya membantu mengurangi dampak kerugian dengan memberikan kompensasi atas piutang yang tidak tertagih,” kata Wahyudin kepada Bisnis.com, Minggu (22/12/2024).
Namun, Wahyudin menilai situasi ini memiliki kejanggalan karena adanya perusahaan asuransi yang bersedia menanggung risiko gagal bayar dari Sritex, meskipun perusahaan tersebut dinilai memiliki risiko tinggi. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh akumulasi pembiayaan serta faktor underwriting lain, seperti kondisi makro dan keuangan Sritex.
Wahyudin juga menyoroti potensi subrogasi dalam kasus ini, di mana perusahaan asuransi yang telah membayar klaim kepada IndoBharat bisa menuntut Sritex untuk mengganti pembayaran tersebut.
“Di sisi lain, mencuatnya kasus ini bisa jadi Sritex dikejar subrogasi oleh perusahaan asuransi karena sudah membayarkan klaim ke IndoBharat. Di sini tidak ada transparansi dari berbagai pihak,” katanya.
Lebih lanjut, Wahyudin mengungkapkan bahwa asuransi kredit perdagangan sebenarnya sudah umum, meskipun perusahaan asuransi yang menyediakan layanan ini masih terbatas karena ada aturan syarat ekuitas, likuiditas, dan nilai komposit.
Menurut Wahyudin, penting untuk meningkatkan sosialisasi mengenai polis asuransi kredit, terutama terkait ketentuan subrogasi dan evaluasi risiko yang lebih ketat.
“Pentingnya sosialisasi polis termasuk ketentuan subrogasi dan evaluasi risiko yang lebih ketat, transparansi keuangan, dan kerja sama antara perusahaan asuransi kredit perdagangan dan mitra bisnis untuk memitigasi risiko gagal bayar,” katanya.
Wahyudin menjelaskan bahwa secara prinsip, asuransi kredit bertujuan untuk melindungi kreditur dari risiko gagal bayar yang dilakukan debitur. Dia menekankan bahwa meskipun asuransi ini tidak secara langsung melindungi dari risiko kepailitan, manfaat utamanya adalah menjaga stabilitas keuangan kreditur atau pihak principal.
Lalu dengan adanya regulasi seperti pemberlakuan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dalam asuransi kredit, Wahyudin optimistis proses seleksi risiko ke depan akan lebih mudah. Dia juga menilai bahwa regulasi yang ada, seperti POJK 20/23, telah memberikan kerangka dasar yang cukup baik.
“Regulasi yang ada di Indonesia, seperti POJK 20/23, sudah memberikan kerangka dasar untuk operasional asuransi kredit. Namun, kasus seperti Sritex menunjukkan bahwa mungkin masih ada celah, seperti perlunya standar penilaian risiko yang lebih tinggi, regulasi terkait transparansi dan pengawasan klaim, serta edukasi kepada pengguna asuransi kredit agar mereka memahami batasan dan cakupan perlindungan yang ditawarkan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel