Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan BI Rate dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berakhir hari ini, Rabu (15/1/2025) guna menahan laju pelemahan rupiah.
Berdasarkan konsensus yang dihimpun Bloomberg, seluruh 38 ekonom memperkirakan BI akan mempertahankan BI Rate di 6%.
Keputusan BI Rata ini akan diambil beberapa hari sebelum Presiden AS terpilih Donald Trump dilantik pada 20 Januari 2025 dan mengumumkan kebijakan-kebijakannya.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang memprediksikan suku bunga acuan BI Rate tetap di level 6%, sejalan dengan antisipasi perkembangan global termasuk menanti pelantikan Donald Trump pada 20 Januari 2025.
Hosianna berpandangan bahwa Bank Indonesia (BI) masih akan berhati-hati dalam melihat ruang pemangkasan suku bunga karena faktor eksternal tersebut.
"Menyongsong Inagurasi Trump pada 20 Januari mendatang, BI perkiraannya akan hati-hati menjelang pergantian presiden AS dengan menahan BI Rate," tuturnya kepada Bisnis, Selasa (14/1/2025).
Selain menanti Trump menggantikan Joe Biden, hasil rilis data ekonomi AS yang masih solid membuat pasar memperkirakan Fed Fund Rate (FFR) akan turut ditahan usai pada pertemuan bulan lalu dipangkas ke level 4,25%—4,5%.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memperkirakan BI akan mempertimbangkan kondisi risk-off sentiment di pasar keuangan global yang berpotensi mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah dalam memutuskan BI Rate.
“Kebijakan mempertahankan suku bunga BI Rate juga mempertimbangkan terkendalinya inflasi barang impor akibat pelemahan nilai tukar rupiah,” ujarnya, Selasa (14/1/2025).
Pada perdagangan Selasa (14/1), rupiah ditutup menguat 10 poin atau 0,08% ke Rp16.270 per dolar AS. Meski demikian, pergerakan rupiah sejak RDG Desember 2024 justru semakin melemah walaupun bank sentral telah menahan BI Rate sebesar 6% untuk ketiga kalinya.
Josua menyebutkan bahwa nasib rupiah dalam jangka pendek pun masih akan bergantung pada kebijakan mendatang dari Donald Trump.
Lebih lanjut, Josua menjelaskan pada dasarnya kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Donald Trump turut mendorong penguatan dolar AS. Bahkan hingga awal 2025 ini indeks dolar (DXY) sudah menembus level 110.
Penguatan dolar AS tersebut juga diikuti dengan tren kenaikan imbal hasil US Treasury yang masih berlanjut hingga awal 2025 ke level 4,78%.
Sementara rupiah yang masih bertengger di atas Rp16.000 per dolar AS mencerminkan tantangan ekonomi global dan domestik.
Utamanya pelemahan tersebut disebabkan oleh penguatan dolar AS akibat kebijakan moneter yang cenderung hawkish oleh The Fed meskipun ada penurunan suku bunga. Pasar tetap memandang dolar sebagai aset aman di tengah ketidakpastian global.
Rupiah juga terpengaruh oleh penurunan minat investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SRBI) pada bulan Desember yang lalu dan faktor ketidakpastian politik global, seperti kebijakan baru AS.
Meski demikian, masih tercatat investor asing melakukan aksi beli di pasar saham sekitar US$ 181,3 juta, di pasar SBN senilai US$248,8 juta dan kepemilikan investor asing pada SRBI juga meningkat US$95,22 juta selama awal 2025 ini.
Di samping itu, tren cadangan devisa mencatatkan kenaikan dan mencapai rekor baru dengan nilai US$155,7 miliar. Kondisi tersebut memberikan ruang tambahan bagi Bank Indonesia untuk intervensi di pasar valas.
Meski BI dapat lega dengan pasokan devisa tersebut, namun Josua melihat masih ada tantangan. Di mana intervensi yang terlalu agresif dapat menjadi mahal dan mengurangi fleksibilitas BI dalam menjaga stabilitas likuiditas domestik. Apalagi, spread suku bunga riil yang tinggi di Indonesia menunjukkan fokus untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel