Bisnis.com, JAKARTA – Regulasi yang berlaku saat ini dalam model bisnis pinjaman online atau fintech peer-to-peer (P2P) lending, yakni Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2023, mengatur bahwa seluruh risiko dalam pinjaman P2P lending menjadi tanggung jawab pihak pemberi dana atau lender.
Namun, beberapa lender merasa ketentuan tersebut memberatkan dan melayangkan gugatan ke pengadilan. Salah satunya adalah gugatan dengan nomor perkara 18/G/2025/PTUN.JKT di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang menggugat OJK dan Dewan Komisioner OJK Agusman.
Dari sisi tingkat risiko pinjaman P2P lending, dapat dilihat dari indikator TWP90 atau pinjaman macet lebih dari 90 hari. Per November 2024, TWP90 di industri P2P lending berada di level 2,52%, masih di bawah ambang batas yang ditetapkan OJK, yaitu 5%. Namun, angkanya meningkat dari 2,37% per Oktober 2024.
Jika ditelusuri lebih lanjut, jumlah penyelenggara P2P lending dengan TWP90 di atas 5% meningkat. Per Juni 2024, hanya ada 19 penyelenggara yang memiliki TWP90 di atas 5%, tetapi jumlahnya naik menjadi 21 penyelenggara per November 2024.
Dengan kondisi tersebut, muncul pertanyaan apakah aturan yang mewajibkan lender menanggung seluruh risiko masih relevan.
“Masih [relevan] dong. Pembagian risiko sesuai model bisnis P2P lending, di mana risiko kredit ditanggung lender. Kewajiban penyelenggara adalah memastikan seleksi kelayakan borrower dengan transparansi semua data calon borrower,” kata Entjik S. Djafar, Ketua Umum Asosiasi Pendanaan Fintech Bersama Indonesia (AFPI) kepada Bisnis, Rabu (5/2/2025).
Menurutnya, risiko kredit macet dalam P2P lending adalah bagian dari risiko bisnis, karena sejak awal penyelenggara telah menyampaikan profil dan risiko calon borrower. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya lender memahami model bisnis P2P lending sebelum berinvestasi.
Hal serupa ditegaskan oleh PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (Akseleran). Perusahaan ini menegaskan bahwa konstruksi hukum yang mengatur P2P lending memang membagi risiko pinjaman kepada lender.
Group CEO & Co-Founder Akseleran Ivan Nikolas mengatakan untuk memastikan pengembalian pinjaman yang disalurkan lender melalui Akseleran, pihaknya selalu melakukan assessment pinjaman secara prudent agar non-performing loan (NPL) tetap rendah.
"Di Akseleran sendiri, TWP90 kami terjaga di bawah 1% dalam empat tahun terakhir. Untuk saat ini, konstruksi hukum P2P lending di Indonesia dilihat sebagai platform yang mempertemukan lenders dan borrowers, dan tidak diperbolehkan mengambil risiko," tambah Ivan.
Sementara itu, Direktur Operasional PT Sahabat Mikro Fintek (Samir), Junjungan Prama Rumapea, juga menegaskan bahwa dalam prinsip dasar P2P lending, penyelenggara hanya bertindak sebagai perantara, bukan sebagai penjamin investasi yang menanggung risiko.
"Kami menilai bahwa pembagian risiko dalam model bisnis P2P lending sebagaimana diatur dalam SEOJK 19/2023 sudah cukup jelas dalam menegaskan bahwa risiko pendanaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab lender," kata Junjungan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel