Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah bank mengungkapkan strategi dalam menghadapi tantangan likuiditas pada tahun ini. Tantangan tersebut berimplikasi terhadap pertumbuhan penyaluran kredit dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) memandang bahwa tantangan likuiditas masih akan terus terjadi pada 2025. Direktur Keuangan & Strategi Bank Mandiri Sigit Prastowo menyatakan pihaknya akan berfokus terhadap bisnis transaksi dan penghimpunan dana murah alias current account saving account (CASA).
“Ini yang nanti diharapkan agar DPK akan tumbuh lebih baik pada tahun depan dan akan men-support pertumbuhan kredit,” katanya kepada wartawan saat acara PTIJK OJK di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Menurutnya, berbeda dengan fokus pada 2024 yang secara agresif meningkatkan market share, Bank Mandiri akan menggenjot laju pertumbuhan simpanan dan kredit pada tahun ini.
Pertumbuhan simpanan akan difokuskan terlebih dahulu, sedangkan pertumbuhan kredit akan dipantau setelahnya. Pihaknya juga mengharapkan laju pertumbuhan tersebut selaras atau lebih tinggi dibandingkan industri perbankan.
“[Target] 10% sampai 12% untuk pertumbuhan kredit, kita mengharapkan DPK bertambah 1%-2%. Supaya LDR [loan to deposit ratio] kami bisa terjaga, kami jaga di level 95%,” tuturnya.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Super Bank Indonesia (Superbank) Tigor M. Siahaan menyatakan bahwa secara industri, pertumbuhan kredit diproyeksikan akan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK. Hal tersebut dinilai dapat berimplikasi terhadap kenaikan rasio LDR bank, sehingga risiko likuiditas menjadi hal yang terus diamati.
Dia menjelaskan bahwa bukan hanya dari kondisi perekonomian domestik, risiko tersebut juga muncul dari ketidakpastian global hingga instrumen investasi seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
“Kalau kita lihat SBN, likuiditas dari investor luar negeri mungkin sudah jauh berbeda dibandingkan dulu. Dulu itu foreign investment di surat utang negara mungkin ada sekitar 40%-41% secara peak, sekarang mungkin di kisaran 13%-14%,” terangnya.
Menurutnya, situasi likuiditas itu dapat kembali berubah apabila aliran modal asing kembali masuk ke Indonesia. Namun, dia menggarisbawahi akan adanya berbagai pengaruh seperti arah kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, termasuk kebijakan penambahan tarif dagang.
“Tapi ini kita masih watch and see, lah. Dari Superbank sendiri kami fokus terhadap development, integrasi dan pelayanan kepada nasabah,” pungkas Tigor.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bahwa kondisi likuiditas perbankan masih memadai pada akhir 2024.
“Rasio alat likuid/non-core deposit [AL/NCD] dan alat likuid/dana pihak ketiga [AL/DPK] masing-masing sebesar 112,87% dan 25,59%, masih di atas threshold sebesar 50% dan 10%,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Jumat (24/1/2025).
Terkait kredit, industri perbankan Tanah Air masih melanjutkan pertumbuhan double digit sebesar 10,39% secara tahunan (year on year/YoY) dengan nilai Rp7.827 triliun.
Namun demikian, penghimpunan dana pihak ketiga perbankan tercatat hanya tumbuh sebesar 4,48% (YoY) menjadi sebesar Rp8.837 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel