Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat mengungkap salah satu faktor kunci yang mendukung keberlanjutan industri fintech peer-to-peer (P2P) lending adalah pemenuhan persyaratan ekuitas minimum.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut bahwa industri ini sangat bergantung pada pemain yang memiliki permodalan yang cukup untuk menanggung risiko yang tinggi, yang menjadi ciri khas dari bisnis pinjaman daring (pindar).
“Ketika permodalan kuat, maka perusahaan mampu menanggung risiko dari bisnis ini. Bisnis pinjaman daring merupakan bisnis yang risikonya cukup tinggi. Maka dibutuhkan platform yang secara finansial mencukupi. Salah satu indikatornya dari sisi permodalan yang kuat,” kata Huda kepada Bisnis, dikutip Kamis (13/2/2025).
Menurut Huda, kinerja perusahaan secara langsung memengaruhi permodalan yang mereka miliki. Menurutnya perusahaan yang memiliki kinerja yang baik biasanya akan memiliki permodalan yang lebih kuat. Hal ini dikarenakan kinerja yang baik memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pendanaan yang cukup, sehingga mereka dapat dengan mudah memenuhi persyaratan modal minimum.
Sebaliknya, perusahaan dengan kinerja yang kurang baik akan mengalami penurunan pendanaan, yang berdampak pada kesulitan dalam memenuhi persyaratan tersebut. Namun, Huda juga menyoroti pengaruh kebijakan OJK yang dapat memengaruhi kinerja platform.
“Masalahnya adalah kinerja ini dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat oleh OJK juga. Contohnya tentang bunga manfaat yang berubah, pasti akan berpengaruh terhadap kinerja penyaluran platform karena berpengaruh terhadap pendapatan lender. Bagi platform yang mengandalkan lender ritel, pasti akan kesulitan,” tambahnya.
Huda juga menyarankan agar kebijakan OJK harus mampu menyesuaikan dengan kondisi industri, terutama ketika industri memerlukan dorongan untuk berkembang lebih pesat.
Selain itu, Huda juga menekankan perlunya perhatian terhadap perlindungan bagi investor ritel.
“Investor ritel juga harus menjadi perhatian oleh regulator tentang bagaimana perlindungannya. Memperkuat permodalan platform merupakan satu langkah yang bagus, tapi juga harus memperhatikan langkah yang dapat memperkuat permodalan melalui pengaturan-pengaturan lainnya,” tegasnya.
Terbaru, OJK mencatat masih ada 10 dari 97 penyelenggara fintech P2P lending yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum.
Sementara itu, sejumlah platform telah dicabut izinnya karena gagal memenuhi persyaratan modal yang ditetapkan regulator. Beberapa platform fintech P2P lending yang dicabut izinnya akibat tidak mampu memenuhi ketentuan ekuitas antara lain PT Investree Radhika Jaya (Investree) pada Oktober 2024, PT Tani Fund Madani Indonesia (TaniFund) pada 3 Mei 2024, PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas) pada 3 Juli 2024, dan PT Semangat Gotong Royong (Dhanapala) pada 5 Juli 2024.
Selain itu, OJK juga telah menjatuhkan sanksi administratif terhadap 62 penyelenggara fintech P2P lending atas pelanggaran terhadap Peraturan OJK (POJK) yang berlaku. Sanksi tersebut merupakan hasil dari proses pengawasan serta tindak lanjut pemeriksaan yang dilakukan oleh regulator.
OJK pun berharap upaya penegakan kepatuhan dan pemberian sanksi ini dapat mendorong pelaku industri untuk meningkatkan tata kelola, menerapkan prinsip kehati-hatian, serta mematuhi regulasi yang berlaku. Dengan demikian, industri dapat semakin berkembang dan memberikan kontribusi optimal.
Dari sisi kinerja industri, outstanding pembiayaan fintech P2P lending tercatat tumbuh 29,14% secara tahunan (year-on-year/yoy) hingga akhir Desember 2024, dengan nilai mencapai Rp77,02 triliun.
Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan November 2024, yang saat itu tercatat tumbuh 27,32% yoy. Sementara itu, tingkat kredit macet atau TWP90 tetap terjaga di level 2,60%, sedikit meningkat dibandingkan November 2024 yang berada di angka 2,52%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel