Bisnis.com, JAKARTA – Inflasi medis menjadi tantangan bagi industri asuransi. Perusahaan asuransi harus membayar nilai klaim kesehatan lebih besar seiring dengan meningkatnya biaya kesehatan.
Sementara itu, saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Salah ketentuannya mengatur bahwa produk asuransi kesehatan yang memberikan manfaat rawat jalan harus menerapkan pembagian risiko (co-insurance) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10% dari total klaim.
Perusahaan asuransi jiwa, PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia atau Generali Indonesia menilai ketentuan pembagian tanggungan risiko klaim tersebut dapat menjadi solusi di tengah inflasi medis.
"Inflasi medis yang terjadi tentu masih menjadi tantangan besar di industri asuransi saat ini, dan dengan salah satu ketentuan yang menerapkan pembagian risiko ini, kami percaya menjadi pertimbangan matang dari regulator yang akan menekan tantangan tingginya pembayaran klaim saat ini," kata Head of Corporate Communications Generali Indonesia Windra Krismansyah kepada Bisnis, Selasa (11/3/2025).
Selain itu, menurutnya dengan adanya co-insurance ini juga akan mendorong kehati-hatian bagi nasabah dalam penggunaan layanan kesehatan. Dengan begitu, diharapkan nasabah atau peserta asuransi bisa lebih bijak dalam memanfaatkan manfaat asuransi sehingga frekuensi dan besaran klaim dapat lebih terkendali.
"Dengan terkendalinya nilai klaim, industri asuransi bisa menjaga keseimbangan portfolio serta memastikan keberlanjutan kesehatan finansial perusahaan di masa mendatang," tegasnya.
Selain skema co-insurance, dalam rancangan regulasi baru OJK itu juga akan mengatur kewajiban perusahaan asuransi memiliki keandalan SDM hingga sistem informasi. Perusahaan asuransi yang menjual produk asuransi kesehatan wajib memiliki Medical Advisory Board (MAB) hingga sistem IT yang bisa mendeteksi fraud.
Atas ketentuan tersebut, Windra mengatakan bahwa Generali Indonesia menyambut baik langkah regulator dalam meningkatkan standar dan pengamanan pada sistem untuk mengendalikan potensi fraud.
"Di Generali Indonesia sendiri, kami telah menerapkan berbagai langkah dalam pengelolaan risiko medis dan kami juga telah memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI) dalam proses klaim, untuk meminimalisir potensi fraud yang mungkin terjadi. Ke depannya, dengan kebijakan ini, industri didorong untuk lebih siap dari berbagai sisi, baik SDM dan teknologi, guna menciptakan sistem asuransi kesehatan yang lebih berkelanjutan dan efisien," ujarnya.
Ketentuan-ketentuan dalam RSEOJK tentaung penyelenggaraan produk asuransi kesehatan tersebut saat ini sedang dibahas OJK dengang meminta imbal balik dan masukan dari para stakeholder.
Hingga saat ini, kata Windra, Generali Indonesia secara internal sedang mempelajari dan berkoordinasi dengan berbagai pihak. Perusahaan percaya bahwa kebijakan yang ditetapkan OJK akan meningkatkan stabilitas industri asuransi kesehatan.
"Kami juga berharap regulasi ini dapat menciptakan keseimbangan antara perlindungan bagi nasabah, keberlanjutan bisnis asuransi serta akses layanan kesehatan yang tetap terjangkau bagi masyarakat," pungkasnya.
Adapun berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), klaim kesehatan asuransi jiwa pada sepanjang 2024 meningkat 16,4% year on year (YoY) menjadi Rp24,18 triliun. Meski masih mengalami kenaikan, tren pertumbuhan klaim kesehatan pada 2024 lebih terkendali dibandingkan tahun sebelumnya, di mana pada 2023 kenaikannya mencapai 24,6%.
Di sisi lain, pendapatan premi asuransi kesehatan mencapai Rp19,84 triliun, meningkat 25,3% dibandingkan tahun 2023. Bila angka klaim dan premi tersebut dihitung, didapatkan bahwa rasio klaim kesehatan asuransi jiwa sampai dengan akhir 2024 lalu sebesar 121,8%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel