Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mengestimasikan Bank Indonesia masih akan menahan suku bunga acuan atau BI Rate dalam hasil pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari ini, Rabu (19/3/2025).
Mengacu hasil konsensus ekonom yang terhimpun dalam Bloomberg, sebanyak 27 ekonom meyakini Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunga di level 5,75%. Sementara 11 lainnya melilhat adanya pemangkasan 25 basis poin.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang yang tergabung dalam konsensus melihat BI akan menahan BI Rate dan cenderung akan berhati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga.
“Mengingat masih adanya tekanan pada nilai tukar seiring dengan sentimen risk-off dari investor global,” ujarnya, Rabu (19/3/2025).
Hal ini tercermin dari arus modal keluar atau outflow yang masih terjadi, tidak hanya di pasar saham, tetapi juga di pasar obligasi pemerintah, yang per pekan lalu mulai mencatatkan outflow setelah sebelumnya mengalami inflow.
Per pekan kedua Maret 2025 atau pekan lalu, modal asing keluar dari pasar keuangan Indonesia senilai Rp10,15 triliun. Terdiri dari dari jual neto Rp1,92 triliun di pasar saham, Rp5,25 triliun di pasar SBN, dan Rp2,97 triliun di SRBI.
Bahkan di pasar saham dalam delapan pekan atau dua bulan terakhir, mengalami tren outflow sejak pekan keempat Januari 2025. Hanya pada pekan pertama Maret 2025 mencatatkan inflow Rp0,34 triliun.
Di sisi lain, Hosianna memandang BI Rate perlu dipertahankan karena rupiah masih menunjukkan pelemahan. Bahkan pada kemarin, menjadi yang terburuk di Asia terhadap dolar AS.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI Teuku Riefky mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat tiga alasan mengapa BI perlu mempertahankan suku bunga acuan tetap di posisinya.
Pertama, berakhirnya diskon tarif listrik yang menjadi penyebab deflasi dua bulan awal 2025 dan masuknya momen Ramadan dan Idulfitri, berpotensi mengerek inflasi ke target sasaran 2,5%±1%.
Sementara secara eksternal, pemerintah perlu mengantisipasi potensi dampak dari kebijakan perdagangan internasional dan pelemahan rupiah, yang menimbulkan risiko lebih lanjut pada harga global dan inflasi impor.
Kedua, surplus yang persisten selama 58 bulan berturut-turut di tengah berbagai tantangan tetap perlu diwaspadai. Utamanya terhadap masuknya barang-barang impor dari China karena perang dagang dengan AS.
“China masih menjadi kontributor terbesar terhadap defisit Indonesia dan lonjakan impor lebih lanjut dari negara tersebut dapat memberikan tekanan lebih lanjut pada neraca perdagangan,” tuturnya.
Ketiga, kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump terus membuat pasar bergejolak.
Meskipun inflasi masih berada di bawah kisaran target Bank Indonesia, periode Ramadan dan Idul Fitri yang akan datang dapat menimbulkan tekanan harga yang bersifat sementara.
Risiko eksternal terus membebani sentimen, terutama pendekatan Federal Reserve yang berhati-hati dalam pelonggaran moneter dan ketidakpastian kebijakan perdagangan Presiden Trump.
Selain itu, keputusan kebijakan The Fed akan diumumkan pada waktu yang sama dengan pertemuan Bank Indonesia, dimana pasar secara luas memperkirakan bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tidak berubah.
“Dalam konteks ini, penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia dapat menambah tekanan pada rupiah,” ujar Riefky.
Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan dalam RDG bulan lalu, bahwa BI masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter. Di mana penurunan suku bunga lebih lanjut adalah masalah waktu, tergantung pada situasi global.
Potensi Pemangkasan
Dari 38 ekonom, sebanyak 11 di antaranya memperkirakan pemangkasan. Seperti ekonom OCBC-Chinese Banking Corp Lavanya Venkateswaran dan ekonom Bank of America NA Kai Wei Ang dan Rahul Bajoria.
Melansir dari Bloomberg, Rabu (19/3/2025), diskusi baru-baru ini oleh anggota parlemen mengenai mandat BI di bawah amandemen undang-undang keuangan yang lebih luas juga telah memperbaharui kekhawatiran tentang independensi bank sentral di masa depan.
Setiap tekanan terhadap BI untuk melakukan putaran baru monetisasi utang akan mengkhawatirkan pasar mengenai kehati-hatian ekonomi Indonesia.
“BI terjebak di tengah kesulitan. Defisit kembar, pertumbuhan yang melemah, dan ketidakpastian kebijakan mungkin tidak akan membantu rupiah,” tulis para ekonom OCBC-Chinese Banking Corp. termasuk Lavanya Venkateswaran dalam sebuah catatan.
OCBC melihat keputusan suku bunga hari ini sebagai sebuah keputusan yang dekat, tetapi condong ke arah pemangkasan 25 basis poin karena BI mungkin akan memprioritaskan pertumbuhan.
Meskipun begitu, bank sentral kemungkinan besar akan perlu menangani tekanan depresiasi pada rupiah, yang telah berkinerja buruk dibandingkan mata uang-mata uang regional bahkan tanpa penurunan suku bunga di bulan Februari, tulis OCBC.
Ekonom Bank of America NA Kai Wei Ang dan Rahul Bajoria melihat BI mungkin akan terdorong untuk membantu memacu pertumbuhan produk domestik bruto yang dapat tetap terjebak di sekitar 5% untuk beberapa waktu karena tinjauan anggaran negara yang sedang berlangsung menghambat pengeluaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel