Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun Rancangan Surat Edaran OJK tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Iwan Pasila, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK menjelaskan dalam rancangan regulasi itu, ada tiga hal yang harus dipenuhi perusahaan asuransi untuk bisa menjual produk asuransi kesehatan.
"Di draft SE OJK, kami mengatur 3 syarat yang harus dimiliki untuk perusahaan asuransi dapat memasarkan produk, yaitu pertama, memiliki kompetensi digital yang memungkinkan pertukaran data digital secara berkala dengan faskes [fasilitas kesehatan]," kata Iwan kepada Bisnis, Rabu (19/3/2025).
Kedua, dari sisi SDM Iwan menjabarkan perusahaan asuransi harus memiliki kompetensi medis yang memungkinkan perusahaan asuransi untuk mengolah data dan memberi masukan atas layanan medis dan obat yang diberikan oleh faskes.
Selain itu, perusahaan asuransi juga harus memiliki Medical Advisory Board (MAB) yang akan memberikan masukan kepada perusahaan asuransi dalam mengelola aspek medis dari asuransi kesehatan yang dipasarkan dan memberi masukan untuk evaluasi berkala dengan faskes.
Berikutnya yang ketiga dari sisi produk, Iwan menjelaskan asuransi kesehatan harus memuat fitur co-payment 10% dengan batasan tertentu untuk layanan rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit.
"Selain itu juga memuat fitur Coordination on Benefit (CoB) sehingga dapat mengoptimalkan koordinasi manfaat dengan Penyelenggara Jaminan lainnya seperti BPJS Kesesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Asabri, Taspen dan Jasa Raharja," pungkasnya.
Iwan melanjutkan, OJK melihat ekosistem asuransi kesehatan komersial saat ini harus diperbaiki agar dapat berkontribusi positif bagi efisiensi biaya medis di tengah inflasi kesehatan yang memberatkan industri asuransi.
Berdasarkan riset dari beberapa institusi, lanjut dia, inflasi medis selalu jauh lebih tinggi dari inflasi umum. Di Indonesia, inflasi medis (nett of inflasi umum) selalu jauh di atas inflasi umum. Iwan mencatat inflasi medis di Indonesia pada 2023 dan 2024 berturut-turut 9,4% dan 10,1%, bahkan menjadi 13,6% dalam proyeksi tahun ini. Dibanding dengan inflasi umum, untuk masing-masing tahun tersebut adalah 3,3%, 3% dan 2,6%. Tren seperti ini menurutnya juga terjadi di dunia.
"Penyebab utama dari tren inflasi medis yang jauh lebih besar dari inflasi umum ini dipengaruhi oleh overutilisasi di layanan medis dan layanan obat. Diperburuk oleh gaya hidup yang tidak sehat, aging population yang membutuhkan layanan medis yang lebih sering dan lebih besar, dan dampak Covid-19 yang memunculkan tren layanan medis yang tinggi untuk beberapa diagnosa seperti cancer dan jantung," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel