Independensi Bank Indonesia dan Nasib Revisi UU Omnibus Law Keuangan

Bisnis.com,20 Mar 2025, 08:29 WIB
Penulis: Surya Dua Artha Simanjuntak
Karyawan berada di dekat logo Bank Indonesia di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR sedang membahas revisi Undang-Undang Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) alias omnibus law sektor keuangan. Pembahasan ini juga menyasar independensi Bank Indonesia.

Pembahasan revisi UU P2SK sendiri dimulai usai Komisi XI DPR menggelar rapat panitia kerja (Panja) pada Senin (10/3/2025) malam. Panja itu akan bertugas menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas UU P2SK.

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan pembentukan Panja RUU P2SK tersebut merupakan implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada awal tahun ini.

Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa menteri keuangan (Menkeu) tidak berhak mengintervensi penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sehingga menyatakan Pasal 86 ayat (4), (6), dan (7) dalam Pasal 7 angka 57 UU P2SK inkonstitusional bersyarat.

Oleh sebab itu, Komisi XI DPR harus merevisi pasal-pasal UU P2SK tersebut. Misbakhun sempat berjanji bahwa pembahasan revisi UU P2SK tidak akan melebar.

"[Revisi] terkait dengan anggaran LPS yang selama ini dibahas, ditetapkan oleh menteri keuangan menjadi pembahasan bersama DPR. Cuma itu [tidak akan melebar]. Revisi terbatas," ujar Misbakhun di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).

Kendati demikian, informasi yang dikumpulkan Bisnis mengungkapkan muncul upaya mengubah pasal-pasal yang berkaitan dengan independensi Bank Indonesia (BI) dalam pembahasan revisi UU P2SK—bukan hanya terkait putusan MK.

Sumber Bisnis mengungkapkan ada upaya untuk mempermudah skema burden sharing. Lewat skema burden sharing, BI diperbolehkan membeli SBN yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana.

Hanya saja dalam Bab XXI Bagian Keenam Bab IIIA Pasal 36A ayat (1) huruf a UU P2SK, skema burden sharing hanya diperbolehkan dalam "kondisi krisis".

Perkembangan terbaru, Komisi XI DPR memutuskan untuk sementara waktu menunda pembahasan RUU P2SK. Misbakhun beralasan ada beberapa masukan baru yang harus "diendapkan".

Legislator dari Fraksi Partai Golkar itu juga tidak menampik salah satu masukan tersebut terkait perubahan pasal yang mengatur kewenangan BI dalam UU P2SK.

"[Ada] beberapa poin dan aspek, tidak hanya terkait Bank Indonesia," kata Misbakhun kepada Bisnis, dikutip Rabu (19/3/2025).

Senada, Ketua Panja RUU P2SK Mohamad Hekal juga tidak menampik bahwa dalam pembahasan awal sempat muncul usulan untuk merevisi pasal terkait wewenang BI dalam UU P2SK.

Kendati demikian, dia menyatakan usulan tersebut masih sekadar wacana. Hekal menegaskan DPR tetap ingin memastikan kemandirian BI.

"Supaya tidak jadi spekulasi, saya enggak mau terlalu dalam, yang jelas tidak ada upaya untuk mengganggu independensi BI," ujar Hekal kepada Bisnis, dikutip Rabu (19/3/2025).

Wakil Ketua Komisi XI DPR itu menyatakan untuk sementara waktu parlemen masih fokus merevisi pasal-pasal yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.

Lebih lanjut, Hekal mengungkapkan pembahasan RUU P2SK akan dilanjutkan pada masa sidang DPR selanjutnya. Targetnya, DPR bisa menyelesaikan pembahasan RUU P2SK sebelum Kuartal IV/2025.

"Urgensinya kan harus selesai sebelum pembahasan anggaran LPS tahun 2026, yang baru akan dibahas sekitar kuartal IV tahun ini," jelas legislator Fraksi Partai Gerindra ini.

Independensi Bank Indonesia

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengingatkan BI harus tetap independen dari intervensi pemerintah. Alasannya, BI sebagai otoritas moneter dan pemerintah sebagai otoritas fiskal kerap mempunyai objektif yang berbeda.

Wijayanto menjelaskan bahwa BI mempunyai dua tugas utama yaitu menjaga tingkat inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah. Caranya, lewat dua mekanisme utama yaitu menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan dan menyerap atau melepas rupiah di pasar.

Sementara itu, pemerintah memerlukan anggaran besar untuk membiayai program kerjanya. Masalahnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kerap mengalami defisit.

Untuk menutup defisit APBN, pemerintah akan berutang dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN). Dalam tahap ini, objektivitas BI dan pemerintah kerap berbeda.

Wijayanto menjelaskan jika pemerintah terus menerbitkan surat utang maka risiko SBN akan meningkat sehingga diperlukan suku bunga yang tinggi untuk tetap menarik investor. Jika risiko sudah teramat tinggi maka investor tidak akan membeli.

"Mekanisme pasar ini membuat pemerintah terpaksa mengerem agresivitasnya dalam berutang, menghindarkannya dari debt trap [jebakan utang]," jelas Wijayanto kepada Bisnis, Rabu (19/3/2025).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

  1. 1
  2. 2
Tampilkan semua
Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini