Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi China Era Xi Jinping: Lebih Lambat, Aman, dan Produktif

Ada kabar baik di balik melambatnya ekonomi di China.
Presiden China Xi Jinping/Reuters
Presiden China Xi Jinping/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Ada kabar baik di balik melambatnya ekonomi di China.

Upaya pemerintah untuk membatasi pemberian pinjaman berisiko, merapikan industri, dan mengendalikan harga rumah tampak kokoh bahkan ketika pertumbuhan bergerak menuju laju tahunan paling lambat dalam hampir tiga puluh tahun dan perselisihan perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) terancam memanas.

Pemerintah China membendung pukulan ekonomi dengan pemotongan pajak yang ditargetkan, insentif investasi, dan upaya mendapatkan lebih banyak kredit untuk perusahaan sektor swasta yang efisien.

Presiden Xi Jinping bisa jadi sedang mendorong negaranya ke jalur pertumbuhan yang lebih berkelanjutan bahkan jika akibatnya harus mengalami sedikit penurunan di sepanjang prosesnya.

“Para pemimpin China telah membuat keberhasilan awal yang mengesankan dalam menahan beberapa bagian paling spekulatif dari sistem keuangan China,” kata Andrew Polk, cofounder perusahaan riset Trivium China di Beijing.

“Banyak analis tidak mengenali keuntungan awal yang besar ini,” lanjut Polk, seperti dilansir dari Bloomberg.

Bagi dunia, prospek pertumbuhan ekonomi yang stabil, meskipun dengan laju yang melambat, adalah hal yang sah-sah saja.

Mengingat China telah berkembang jauh lebih besar dari sebelumnya, pertumbuhan 6% dapat menghasilkan permintaan global yang sama banyaknya dengan peningkatan dua digit seperti di masa lalu. Ini berarti China akan tetap menjadi mesin pertumbuhan terbesar dunia.

“Satu keuntungan dari kebijakan Xi untuk mengendalikan kelebihan adalah pertumbuhan produktivitas, yang telah meningkat dari rata-rata sekitar 1,9% per tahun antara 2014 hingga 2016 menjadi sekitar 2,4% tahun ini,” kata kepala ekonom China di Morgan Stanley, Robin Xing.

Peningkatan Utang

Di antara faktor-faktor utama yang mendorong perbaikan adalah penghapusan kapasitas industri yang berlebihan dalam industri dari baja menjadi semen.

Xing memperkirakan peningkatan utang akan menjadi flat tahun ini, sehingga membawa total rasio di sekitar 276% dari produk domestik bruto (PDB), dan akan meningkat sekitar tiga poin persentase pada 2019.

“Ini adalah pertama kalinya pelonggaran kebijakan China terutama difokuskan pada fiskal alih-alih kebijakan moneter,” lanjut Xing.

Jika dilihat dengan lebih cermat, beberapa kebijakan menyulitkan yang diterapkan Xi terhadap investor dan perusahaan dapat dilihat sebagai hal yang baik.

Perusahaan-perusahaan mengalami kemunduran karena kekurangan kredit setelah pembuat kebijakan menindak sektor perbankan bayangan yang sebelumnya minim aturan. Praktik pembiayaan di sektor ini pun menyusut untuk bulan kedelapan berturut-turut pada Oktober ke level terendahnya sejak Desember 2016.

Selama periode penurunan sebelumnya, para pembuat kebijakan menggunakan bank-bank negara untuk menyalurkan kredit kepada perusahaan-perusahaan milik negara, yang dikerahkan dalam belanja besar-besaran untuk segala hal mulai dari infrastruktur hingga bangunan properti. Ini telah berubah.

Laju pertumbuhan investasi infrastruktur menurun menjadi 3,3% sepanjang sembilan bulan hingga September dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya, rekor terendah dalam data sejak 2014.

Meski laju pertumbuhan sebelumnya tidak berkelanjutan, pemerintah menginginkannya untuk stabil saat ini. Laju pertumbuhan pulih menjadi 3,7% year-to-date bulan lalu, menandakan bahwa kebijakan fiskal yang lebih mendukung mulai berdampak ke ekonomi riil.

Di sisi lain, meskipun telah meningkat sejak akhir tahun lalu, investasi real estat tampaknya terkendali untuk saat ini.

Penjualan rumah baru meningkat dengan laju paling lambat dalam enam bulan pada bulan Oktober. Ini menambah tanda bahwa pasar telah mendingin di bawah kebijakan pemerintah yang dirancang untuk membatasi harga.

“Setiap kali China terpukul oleh kejutan, mereka panik dan membiarkan saluran kredit longgar untuk mempertahankan pertumbuhan,” kata David Loevinger, mantan pakar China di Departemen Keuangan AS yang sekarang berlaku sebagai analis di TCW Group Inc.

“Berbeda dengan masa lalu, orang-orang China terlihat seperti mencoba untuk meempatkan dasar pada pertumbuhan, daripada merekayasa pemulihan yang dipicu kredit.”

Perang Dagang

Sementara itu, seiring dengan meningkatnya konflik perdagangan dengan AS, para pembuat kebijakan berusaha untuk melonggarkan beberapa pengaturan moneter dan mengurangi persyaratan peraturan pada bank-bank untuk mendorong pinjaman, agar perlambatan tidak melenceng terlalu jauh.

Meski ada spekulasi di kalangan ekonom bahwa bank sentral China People's Bank of China (PBOC) akan memangkas suku bunga acuan, langkah ini masih belum dilakukan.

Bisa jadi ini karena ancaman ujian terbesar yang menanti di depan sana. Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif menjadi 25% dari 10% terhadap barang-barang impor China senilai US$200 miliar pada Januari.

Tarif tersebut akan diberlakukan jika tidak ada penyelesaian yang disepakati dengan Xi ketika kedua pemimpin bertemu di KTT G-20 bulan ini. Jika terwujud, ini akan meningkatkan tekanan pada pertumbuhan.

Namun sejauh ini, suasana hati konsumen yang lebih suram justru dinilai lebih merugikan dibandingkan dengan perang perdagangan dengan AS.

Xi membutuhkan cukup permintaan untuk memenuhi target menciptakan 11 juta pekerjaan per tahun (yang telah tercapai untuk 2018) dan bottom line pertumbuhan ekonomi sekitar 6,2% untuk beberapa tahun ke depan.

Ini dibutuhkan demi memenuhi janji bahwa PDB 2020 dan tingkat pendapatan akan berlipat ganda dari capaian pada tahun 2010.

”Para pembuat kebijakan telah benar-benar mengubah taktik mereka terhadap stimulus,” ujar Andrew Tilton, kepala ekonom untuk Asia Pasifik di Goldman Sachs.

“Mereka telah berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak ingin melakukan big bang stimulus seperti yang dilakukan pada 2009 dan saya pikir kali ini mereka bersungguh-sungguh.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper