Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Beras Terbesar Mulai Bergeser Ke Luar Jawa

Badan Pusat Statistik mencatat daerah penghasil beras nasional sepanjang 2018 mulai bergeser ke provinsi di luar pulau Jawa.
Aktivitas pedagang beras lokal di Pasar Sentral Antasari Banjarmasin, Kamis (20/9/2018)./Bisnis-Arief Rahman
Aktivitas pedagang beras lokal di Pasar Sentral Antasari Banjarmasin, Kamis (20/9/2018)./Bisnis-Arief Rahman

Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik mencatat daerah penghasil beras nasional sepanjang 2018 mulai bergeser ke provinsi di luar pulau Jawa.

Berikut ini merupakan 10 daerah sentra penghasil beras nasional per 2018 yakni Jawa Timur 10,5 juta ton gabah kering giling (GKG), Jawa Barat 9,5 juta ton GKG, Jawa Tengah 9,5 juta ton GKG, Sulawesi Selatan 5,7 juta ton GKG, Sumatera Selatan 2,6 juta ton GKG, Sumatera Utara 1,9 juta ton GKG, Lampung 1,9 juta ton GKG, Aceh 1,6 juta ton GKG, Banten 1,6 juta ton GKG, dan Sumatera Barat 1,5 juta ton GKG.

Dari sentra tersebut, empat provinsi penghasil berada di Jawa. Tapi yang perlu dicermati adalah hanya Jawa Tengah dan Jawa Timur yang produksinya surplus yakni masing-masing 1,7 juta ton beras. Surplus terjadi karena produksi masih mencukupi untuk kebutuhan daerahnya sampai dengan akhir Desember.

Sementara itu, Jawa Barat mengalami defisit 770.587 ton beras, Banten 411.044 ton beras dan Yogyakarta sekitar 141.990 ton beras. Terakhir tentu saja Jakarta yang defisit berasnya paling tinggi yakni 1,2 juta ton.

Daerah di luar Jawa seperti Sulawesi Selatan justru menempati urutan pertama yang mengalami surplus produksi sebesar 2,3 juta ton. Sekaligus menjadi penopang produksi nasional. Lalu Sumatera Selatan 687.694 ton, Lampung 315.190 ton, dan Aceh 306.067 ton.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah mengatakan hasil tersebut setelah dilakukan pemutakhiran data menggunakan kerangka sampling area (KSA). Menurutnya peralihan sentra produksi beras nasional adalah konsekuensi dari jumlah konsumsi dan penduduknya.

"Karena konsumsi tetap tapi produksi terus turun, [surplus dan defisit produksi juga] terkait dengan jumlah masyarakat nya juga," kata Habibullah, Jumat dalam diskusi House of Rice (14/12).

Menurutnya ada 241.000 titik sampel untuk menghasilkan data tersebut. Selain itu data juga selalu diperbarui setiap bulan. Jadi BPS memantau tumbuh kembang padi yang ditanam oleh masyarakat.

Habibullah mengatakan dengan metode baru, BPS sudah bisa memprediksikan potensi panen yang akan terjadi. Pasalnya, BPS mengawasi umur tanaman sejak hari pertama sampai 105 hari kemudian ketika panen.

"Aram tidak akan dikeluarkan lagi oleh BPS, tapi kami akan mengeluarkan angka potensi panen tiga bulan sebelumnya," katanya. Adapun pada Desember ini BPS memperkirakan pada Desember luas panen yang terjadi sebesar 431.000 hektare dengan potensi produksi berss nasional sebesar 1,2 juta ton. Sementara konsumsi kemungkinan berkisar antara 2,5 juta ton. Artinya dapat terjadi defisit 1,2 juta ton.

Selain itu, Habibullah pun mengatakan ada tiga hal yang perlu dicermati dalam perindustrian pangan mayoritas ini setelah terbitnya metode baru. Pertama, memperbarui luas lahan baku sawah yang perlu dilakukan secara berkala.

Kedua, perlu diteliti pergerakan produksi beras antar provinsi dan kabupaten/kota baik surplus dan defisitnya. Ketiga, jumlah stok beras juga perlu diamati dari waktu ke waktu.

Di sisi lain, Komite Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Husein Sawit mengatakan selain bisa menambah keakuratan data produksi. Metode KSA yang baru pun seharusnya digunakan pemerintah untuk mengubah kebijakan perberasan.

Salah satunya adalah keputusan untuk melakukan pengadaan setahun penuh sekaligus membanjiri pasar dengan operasi beras. Pasalnya, produksi beras berdasarkan data BPS hanya terjadi antara Januari sampai September dengan puncaknya pada Maret.

"Beras tidak seperti sepatu yang masa produksinya tidak tergantung musim," katanya.

Selain itu, Husein mengatakan sekarang itu pergerakan beras seret. Kebijakan tidak diperbolehkannya memegang stok untuk mencari untung pasti membuat pedagang takut. Akibatnya penggilingan hanya menyimpan dalam jumlah yang sedikit sebab takut disangka menimbun.

Alhasil, ketika terjadi kenaikan harga beras pasar sulit diredam dan cenderung stabil tinggi. "Sekarang pergerakannya tidak seperti dulu, tidak cepat. Harga yang naik kan di daerah yang produksinya defisit yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta, daerah lain tidak bisa suplai.  Tindakan represif membuat rantai distribusi semakin berat," pungkasnya.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Pandu Gumilar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper