Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang & Negosiasi Alot AS-China Sedot Energi Dunia Sepanjang 2018

Keduanya saling balas-membalas melancarkan strategi dan tarif terhadap produk masing-masing seakan tak mau kalah menunjukkan taji mereka sebagai dua negara adidaya ekonomi terbesar di dunia.
Presiden China Xi Jinping (kanan) berinteraksi dengan Presiden AS Donald Trump didampingi Melania Trump. (Reuters)
Presiden China Xi Jinping (kanan) berinteraksi dengan Presiden AS Donald Trump didampingi Melania Trump. (Reuters)

Bisnis.com, JAKARTA – Perseteruan dagang yang sengit antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi sentimen utama yang memicu naiknya geopolitik dan tekanan terhadap perekonomian global sepanjang tahun 2018.

Keduanya saling balas-membalas melancarkan strategi dan tarif terhadap produk masing-masing seakan tak mau kalah menunjukkan taji mereka sebagai dua negara adidaya ekonomi terbesar di dunia.

Ini sudah pasti berdampak pada pasar global mengingat kontribusi masing-masing negara dalam total perdagangan dunia. Otoritas finansial global pun memperingatkan dampaknya terhadap ekonomi dunia.

Ada anggapan luas, bahwa China melakukan kecurangan dalam perdagangan internasional, utamanya dalam hal ini terhadap AS. Ada pula yang melihat AS cemburu pada pada kebangkitan China dan menggunakan perang dagang untuk menghambatnya.

Presiden AS Donald Trump berdalih ingin melindungi lapangan kerja di AS serta menghentikan transfer teknologi dan kekayaan intelektual ke China yang berlangsung secara tidak adil.

Menurut data Biro Sensus AS, nilai impor AS ke China dari China sepanjang 2017 mencapai US$505,5 miliar, jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor Negeri Paman Sam ke China senilai US$129,9 miliar.

Secara teori, pengenaan tarif terhadap barang impor memang menjadikan produk buatan AS lebih murah sehingga mendorong konsumen untuk cinta produk dalam negeri dan ujung-ujungnya memajukan bisnis setempat.

Tetapi yang terjadi justru banyak perusahaan di AS dan kelompok industri yang merasa dirugikan akibat kebijakan tarif Trump. Tanda-tanda dampak dari hal ini sudah tampak pada kinerja keuangan perusahaan.

Perusahaan AS dan konsumen Negeri Paman Sam harus membayar harga barang lebih tinggi sebagai dampak dari kebijakan tarif tersebut. Demikian pula perusahaan AS yang harus menaikkan harga barang-barang impor sejak tarif impor diberlakukan.

Setelah melalui beberapa rencana diskusi yang alot, dunia akhirnya bisa bernafas lega setelah Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu di sela-sela perhelatan KTT G20 di ibu kota Argentina, Buenos Aires, pada 1 Desember dan sepakat untuk tidak menambah tarif impor.

Kedua negara sepakat melaksanakan negosiasi perdagangan baru dengan tujuan mencapai kesepakatan dalam waktu 90 hari.

Trump setuju untuk tidak menambah tarif impor menjadi 25% yang sedianya ditujukan untuk barang asal China senilai US$200 miliar pada 1 Januari 2019 mendatang. Sementara itu, pemerintah China sepakat untuk membeli sejumlah besar produk pertanian, energi, industri dan lainnya dari AS.

Namun pihak Gedung Putih juga memperingatkan bahwa jika tidak terdapat kemajuan selama periode 90 hari terhitung sejak 1 Desember, pemerintah AS akan tetap dengan rencana semula yakni menaikkan tarif menjadi 25%.

Kendati masih tersisa pesimisme mengenai penyelesaian perang dagang, kesepakatan itu setidaknya dapat membantu meringankan kekhawatiran bahwa ketegangan perdagangan akan semakin memicu tensi geopolitik, prospek yang telah membangkitkan kekhawatiran akan Perang Dingin yang baru.

Berikut jalan panjang perselisihan tarif perdagangan AS-China yang alot sepanjang tahun 2018, seperti dilansir dari Bloomberg:

22 Januari

Pemerintah AS mengenakan tarif impor sebesar 30% dan 20% masing-masing pada panel surya dan mesin cuci

9 Maret

Presiden Trump memberlakukan tarif sebesar 25% dan 10% masing-masing terhadap impor baja dan aluminium dari seluruh negara, termasuk China.

2 April

Pemerintah China merespons pengenaan tarif baja dan aluminium, dengan mengenakan bea masuk pada impor AS senilai US$3 miliar termasuk buah, buahan, kacang-kacangan, dan wine sebesar 15% dan untuk daging babi sebesar 25%.

3 April

Pemerintah AS mengusulkan tarif terhadap impor senilai US$50 miliar asal China karena tudingan kecurangan kekayaan intelektual terhadap Negeri Panda.

4 April

Pemerintah China mengancam pengenaan pungutan sebesar 25% terhadap impor kedelai, mobil, bahan-bahan kimia, dan pesawat terbang.

3-4 Mei

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross berkunjung ke Beijing untuk bernegosiasi tetapi gagal mencapai kesepakatan.

28 Mei

Pemerintah AS menuding China melakukan pencurian teknologi dan kekayaan intelektual di dalam suatu kesempatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

15 Juni

Pemerintah AS mengumumkan tarif terhadap impor senilai US$50 miliar asal China. Trump mengancam akan mengenakan tarif lebih lanjut apabila China melakukan retaliasi. Merespons hal ini, pemerintah China melakukan tindakan serupa.

19 Juni

Pemerintah AS mengancam akan mengenakan tarif 10% terhadap barang-barang China senilai US$200 miliar dan pungutan pada barang-barang tambahan jika China melakukan pembalasan.

21 Juni

Presiden Xi Jinping bersumpah akan memukul balik.

6 Juli

Pengenaan tarif dimulai terhadap impor senilai US$34 miliar asal China.

2 Agustus

Trump mengancam akan meningkatkan tarif yang diusulkan menjadi 25% terhadap barang-barang asal China senilai US$200 miliar.

23 Agustus

Tarif mulai dikenakan terhadap impor senilai US$16 miliar dari China. Pemerintah China meresponsnya dengan pungutan terhadap impor AS dengan nilai yang sama.

24 September

Tarif 10% terhadap barang-barang asal China senilai US$200 miliar dimulai dan akan dinaikkan menjadi 25% pada 2019. China membalas dengan tarif terhadap barang-barang asal AS senilai US$60 miliar.

23 Oktober

Pemerintah AS mengumumkan bahwa Trump akan bertemu dengan Presiden Xi Jinping di KTT G20.

29 Oktober

Pemerintah AS menyatakan akan merencanakan lebih banyak tarif jika pertemuan dengan Xi Jinping gagal terwujud.

16 November

Trump mengatakan pemerintah AS tidak perlu mengenakan lebih banyak tarif, mempertimbangkan keinginan China untuk membuat kesepakatan.

18 November

Forum APEC yang digelar di Papua Nugini berakhir tanpa komunike menyusul pertukaran retorika sengit antara Presiden Xi Jinping dan Wakil Presiden AS Mike Pence mengenai perdagangan.

28 November

Penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan Presiden Donald Trump siap kembali mengerek tarif impor barang-barang China jika tidak ada perkembangan berarti dalam pertemuan dengan Presiden Xi Jinping di Argentina.

1 Desember

AS-China sepakat untuk tidak menambah tarif impor. Kedua negara sepakat melaksanakan negosiasi perdagangan baru dengan tujuan mencapai kesepakatan dalam waktu 90 hari.

11 Desember

China akan memangkas tarif produk otomotif yang diimpor dari AS menjadi 15% dari 40%.

12 Desember

China dilaporkan melakukan pembelian kedelai AS yang cukup besar sejak kedua negara memulai serangkaian perang tarif.

13 Desember

China dikabarkan mempertimbangkan rencana untuk menunda target program “Made in China 2025”.

14 Desember

Pemerintahan Trump dikabarkan membuat keputusan resmi untuk menunda kenaikan bea impor barang-barang China senilai US$200 miliar ke 25% dari 10% menjadi 1 Maret 2019.

Sementara itu, China akan menghentikan sementara tarif tambahan 25% pada kendaraan dan suku cadang mobil buatan AS mulai 1 Januari 2019.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper