Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemiskinan dan Defisit Neraca Perdagangan

Penurunan angka kemiskinan menjadi suatu hal yang positif di tengah kondisi ekonomi global yang tak pasti dan pertumbuhan ekonomi yang berkisar 5% dalam beberapa tahun terakhir. Namun, masih ada hal yang perlu menjadi perhatian, yaitu defisit neraca dagang yang mencapai rekor terbesar sejak 1975.
Ekonom M. Chatib Basri dalam sebuah acara di Jakarta, Rabu (6/6/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Ekonom M. Chatib Basri dalam sebuah acara di Jakarta, Rabu (6/6/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Pada 15 Januari 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan dua hal penting: angka kemiskinan yang turun dan defisit neraca perdagangan yang mencapai rekor.

Persentase penduduk miskin turun dari 10,12% pada September 2017 menjadi 9,66% pada September 2018. Angka ketimpangan pendapatan yang direflesikan oleh Gini ratio juga sedikit mengalami penurunan.

Tentu, ini adalah suatu hal yang positif. Di tengah kondisi ekonomi global yang tak pasti, pertumbuhan ekonomi yang berkisar 5% dalam beberapa tahun terakhir, persentase angka kemiskinan yang terus menurun menunjukkan sebuah prestasi yang baik.

Menurut saya, conditional cash transfer seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang dinaikkan, berkontribusi positif pada penurunan kemiskinan ini.

Sejak 2015, saya berkali-kali menganjurkan perlunya bantuan sosial seperti cash transfer, PKH, cash for work (padat karya tunai) untuk mengurangi kemiskinan (antara lain lihat tulisan saya di Harian Kompas 5 Oktober 2015 dan 16 Juni 2016). Oleh karena itu, langkah pemerintah untuk mengalokasikan dan meningkatkan anggaran bantuan sosial sebesar 32% di dalam APBN 2019 dibanding 2018 adalah langkah yang tepat.

Perbaikan di dalam penurunan angka kemiskinan dan menurunnya ketimpangan perlu diapresiasi. Walaupun demikian, saya ingin mengingatkan bahwa tingkat kemiskinan masih sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan.

Implikasinya jika harga pangan, terutama beras, naik maka jumlah orang miskin akan meningkat. Artinya, pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kebijakan yang dapat berakibat kepada kenaikan harga beras.

Selain itu, pemerintah harus berhati-hati, karena walaupun menurun, orang miskin masih rentan terhadap gejolak harga pangan. Kenaikan harga pangan akan membuat mereka kembali jatuh dalam kemiskinan. Jadi, tak ada ruang untuk kesalahan dalam kebijakan beras.

Namun, di tengah berita positif itu ada hal yang perlu menjadi perhatian kita: defisit neraca perdagangan yang paling besar sejak 1975 (data 1945-1975 tidak terdata dengan baik).

Kemarin, BPS mengumumkan defisit neraca perdagangan yang mencapai US$1,1 miliar. Dengan itu, defisit perdagangan 2018 mencapai US$8,57 miliar.

Kepala BPS dan media menulis bahwa sumber utamanya adalah defisit migas. Secara nominal, defisit migas 2018 mencapai US$12.4 miliar, sedangkan non migas mengalami surplus US$3,8 miliar.

Sekilas, kita melihat migas lah penyebabnya. Namun, saya setuju dengan rekan dan guru saya di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI) dulu, Faisal Basri, bahwa yang juga harus diperhatikan adalah non migas.

Mengapa? Surplus non migas 2017 adalah US$20,4 miliar, sedangkan pada 2018 tinggal US$3,8 miliar. Artinya, terjadi penurunan surplus sebesar US$16,6 miliar.

Sementara itu, dalam migas, kenaikan defisit yang terjadi relatif kecil yaitu US$3,9 miliar. Di sinilah kita harus memperhatikan sumbernya.

Ekspor non migas pada 2018, tumbuh sebesar 6,2%. Ekspor migas 2018 tumbuh sebesar 10,1%. Impor migas dan non migas, masing-masing tumbuh sebesar 22,6% dan 19,7%.

Pertumbuhan impor migas lebih besar dari non migas, tapi pertumbuhan ekspornya juga lebih besar dari non migas. Penurunan harga batu bara, komoditas yang mulai terjadi pada akhir 2018, memberikan kontribusi menurunnya pertumbuhan ekspor non migas dalam beberapa bulan terakhir 2018.

Di sisi lain, impor non migas masih tetap meningkat. Akibatnya: surplus neraca perdagangan non migas mengalami penurunan yang amat tajam.

Bila tren ini berlanjut, maka defisit kita akan semakin menganga.

Kita tahu bahwa sekitar 90% dari impor kita itu adalah bahan baku dan barang modal. Sehingga, secara konseptual kita tidak perlu terlalu sangat khawatir dengan kenaikan impor karena impor ini adalah impor barang produktif (bukan konsumsi). Artinya, impor ini akan menghasilkan produksi.

Bila kita membeli bahan baku atau barang modal, misalnya untuk infrastruktur atau produksi, maka satu hari impor itu akan menghasilkan barang. Sehingga, kita tak perlu terlalu pesimistis.

Namun, yang perlu menjadi perhatian dan pertanyaan adalah mengapa impor barang modal dan bahan baku naik terus dalam beberapa tahun terakhir, tapi pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di 5%? Soal waktu kah? Karena ada senjang waktu yang dibutuhkan dalam proses produksi? Atau ada masalah inefisiensi?

Dengan Incremental Output Ratio (ICOR) kita saat ini sebesar 6,1%, artinya untuk menghasilkan 1% pertumbuhan ekonomi dibutuhan 6,1% investasi/PDB. Ini relatif tinggi. Artinya, untuk menghasilkan output dibutuhkan modal yang tinggi.

Ini bisa disebabkan oleh dua hal: kita banyak sekali mengimpor barang modal dan bahan baku yang memang untuk menghasilkan output membutuhkan waktu (seperti infrastruktur) atau memang produktivitas kita rendah?

Yang saya khawatir, kita memang punya soal dalam hal produktivitas. Berbagai studi mengonfirmasi hal ini.

Sayangnya, kebijakan fiskal dan moneter tak akan mampu menjadi penggerak utama produktivitas. Peningkatan produktivitas hanya bisa dilakukan dengan reformasi ekonomi di sektor riil. Tanpa itum kita akan terus terperangkap.

Yang membahayakan walau dengan impor barang modal dan bahan baku yang tinggi, pertumbuhan ekonomi nyaris tak bergerak.

Satu hal lagi yang menarik dicatat: walau defisit neraca perdagangan mencapai rekor terdalam, mengapa rupiah kemarin stabil? Bukankah kita selama ini percaya bahwa defisit perdagangan lah yang menjadi sumber pelemahan rupiah? Fakta hari ini membantah argumen itu, setidaknyan sampai hari ini.

Sebaliknya, fakta ini memperkuat argumen yang selalu saya ulang: dalam soal nilai tukar, kita harus memperhatikan apa yang terjadi dalam neraca modal atau capital account.

Rupiah akan melemah jika neraca pembayaran secara keseluruhan mengalami defisit. Mengapa? Karena modal portfolio yang digunakan untuk menutupi defisit dalam current account keluar akibat kebijkan The Fed atau kejutan eksternal lainnya.

Karena itu, saya katakan sekali lagi, dalam soal nilai tukar, isu utama kita adalah dominasi arus modal portfolio dari luar yang mudah berpindah tempat. Seperti kita tahu, arus modal portfolio amat peka kepada gejolak eksternal seperti kebijakan The Fed atau kejutan eksternal lain.

Saat ini, karena The Fed tampaknya akan “bersabar” dalam menaikkan bunga, maka, walau defisit neraca dagang mencapai rekor terdalam, tapi dampak terhadap rupiah ternyata terbatas.

Dampak terhadap rupiah akan signifikan jika defisit perdagangan ini dikombinasikan dengan keputusan The Fed. Jika The Fed menjadi agresif dalam menaikkan bunga, maka rupiah akan terdampak.

Hal ini kembali memperkuat argumen tentang perlunya financial deepening, perlunya Foreign Direct Investment (FDI), sehingga arus modal masuk tak mudah keluar. Juga, memperkuat argumen tentang perlunya penerapan reverse tobin tax atau tobin tax (dikaji mana yang lebih cocok). Yang paling penting, perlunya reformasi di sektor riil, seperti UU Ketenagakerjaan, iklim investasi.

Tanpa itu semua, maka Indonesia akan terus terperangkap dalam isu stabilitas versus pertumbuhan. Dengan ICOR 6,1%, maka untuk tumbuh 6%, dibutukan rasio investasi/PDB sebesar 36%-37%, padahal tabungan domestik/PDB 32%-33%. Artinya, dengan pertumbuhaan 6%, defisit current account akan menjadi 4%.

Kalau kita memilih stabilitas dengan fokus pada Current Account Deficit (CAD), maka pertumbuhan ekonomi hanya akan tumbuh 5%-5,5%. Bila kita memilih pertumbuhan ekonomi, maka CAD akan naik, akibatnya rupiah melemah. Lalu, pasar keuangan terganggu.

Kita harus memutus lingkaran setan ini dengan reformasi di sektor riil, mengundang Penanaman Modal Asing (PMA/FDI), financial deepening, dan menerapkan macro prudential seperti tobin tax atau reverse tobin tax.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Chatib Basri
Editor : Annisa Margrit
Sumber : Facebook Chatib Basri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper