Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Akurasi Asumsi Makro APBN 2020 Perlu Diwaspadai

Kerangka Ekonomi Makro (KEM) PPKF RAPBN 2020 sebagai berikut : pertumbuhan ekonomi diperkirakan sekitar 5,3% hingga 5,6%, inflasi sekitar 2-4% atau 3% plus minus satu, suku bunga SPN antara 5% hingga 5,6%, nilai tukar rupiah antara Rp14.000 hingga Rp15.000 per dollar Amerika Serikat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) menyampaikan pandangannya saat mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) menyampaikan pandangannya saat mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso

Bisnis.com, JAKARTA – Seiring semakin tidak menentunya kondisi perekonomian global saat ini, maka akurasi asumsi makro yang dibuat pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 perlu diwaspadai bersama.

Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela Rapat Kerja Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN TA 2020 dan RKP Tahun 2020 dengan Badan Anggaran DPR RI, di Gedung Nusanara II, Senayan, Selasa (11/6/2019).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menyatakan bahwa pada pertemuan G20 di Jepang pekan lalu, yang membahas ketidakpastian global mengenai perdagangan dunia dan proteksionisme, ternyata hasilnya justru belum menunjukkan arah yang positif atau perbaikan.

"Harus diakui bahwa pertemuan G20 kemarin bukan makin memperlunak, tapi makin memperkeras. Sama sekali tidak ada tanda tanda yang melunak," ujarnya, Selasa (11/06/2019).

Kendati demikian, pihaknya masih berharap akan ada angin positif dari hasil pertemuan tingkat leader pada tiga pekan ke depan. "Nanti kita akan lihat dalam tiga Minggu ke depan ada pertemuan leaders, tentu akan kita lihat," ujarnya.

Faktor global selanjutnya, selain hasil pertemuan G20 yang tidak menunjukkan tanda kemajuan, menurut Sri Mulyani adalah kondisi persoalan Brexit yang sampai saat ini juga belum memiliki titik temu.

"Brexit sekarang ini going no where, masih sama, walaupun sudah ganti Perdana Menteri tiga kali. Dan ini akan menjadi suatu yang akan mempengaruhi Eropa," ujarnya.

Faktor berikutnya, lanjut Menkeu, terkait harga komoditas yang juga mengalami fluktuasi. "Tahun 2019, kita lihat sekarang ini seluruh asumsi harga komoditas kita juga meleset karena adanya ketidakpastian," ujarnya.

Kemudian, faktor selanjutnya adalah kondisi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai ekonomi kedua dunia juga mengalami moderasi pertumbuhannya dan adanya perubahan yang sangat nyata dari sisi iklim geopolitik internasional.

"Ini yang akan menambah risiko besar terhadap perekonomian dan tentu nanti dari sisi kinerja APBN kita," tegasnya.

Oleh karena itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa nanti dalam menetapkan asumsi makro, pemerintah sangat menyadari bahwa asumsi asumsi makro saat ini dibuat dalam suasana yang tidak pasti dan volatile.

"Sehingga mungkin akurasinya nanti akan menjadi sesuatu yang perlu untuk kita waspadai. Karena perubahan asumsi makro di dalam lingkungan yang tidak pasti itu tentu akan mempengaruhi besaran APBN kita," ujarnya.

Kendati demikian, dalam konteks tersebut, pihaknya menegaskan bahwa di dalam kerangka kebijakan fiskal tersebut adalah bagaimana pihaknya bisa mendukung agenda pembangunan yang sangat penting dan struktural fundmental, namun tetap menjaga APBN tetap sehat dan membuat neraca keuangan pemerintah semakin kuat.

Adapun dengan situasi yang dihadapi pada 2019, Kerangka Ekonomi Makro (KEM) PPKF RAPBN 2020 sebagai berikut : pertumbuhan ekonomi diperkirakan sekitar 5,3% hingga 5,6%, inflasi sekitar 2-4% atau 3% plus minus satu, suku bunga SPN antara 5 hingga 5,6%, nilai tukar rupiah antara Rp14.000 hingga Rp15.000 per dollar Amerika Serikat, harga minyak antara US$60-70/barel, lighting minyak antara 695-840 barel, dan lighting gas 1191 sampai 1300 barel setara minyak.

"Range ini kami sampaikan di dalam sikap antara satu sisi berhati hati tapi di sisi lain kami ingin tetap menjaga optimisme. Jadi bagaimana kita cari titik temu antara optimisme yang tetap di jaga namun tetap unsur kehati-hatiannya tidak hilang," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper