Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asosiasi Penambang Nikel Bingung Stok Ore 1,7 Persen Mau Diapakan

Kalangan penambang nikel mengeluhkan saat ini terdapat 3,8 juta metrik ton stok ore nikel dengan kadar 1,7 persen.
Pekerja mengeluarkan biji nikel dari tanur./Antara-Basri Marzuki
Pekerja mengeluarkan biji nikel dari tanur./Antara-Basri Marzuki

Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan penambang nikel mengeluhkan saat ini terdapat 3,8 juta metrik ton stok ore nikel dengan kadar 1,7 persen akibat adanya percepatan larangan ekspor nikel dari 2022 menjadi awal Januari 2020.

Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan stok ore nikel sebanyak 3,8 juta metrik ton ini tak dapat diserap oleh smelter di Indonesia. Pasalnya, smelter nasional hanya menerima kadar 1,8 persen.

"Setelah kami data dari 7 provinsi cadangan nikel sekitar 3,8 juta yang kadarnya 1,7 persen yang statusnya idle, enggak tahu diapain," ujarnya, Jumat (28/2/2020).

Menurutnya, kadar nikel yang 1,8 persen dan high grade hanya sekitar 30 persen dari yang ditambang. Apabila smelter lokal hanya menyerap nikel berkadar 1,8 persen ke atas dan hanya menggunakan high grade, maka dapat dipastikan smelter hanya bertahan lima tahun.

Dia menilai smelter di Indonesia terlalu banyak ketentuan spek yang sangat membatasi penyerapan nikel sehingga yang diserap hanya kadar ore 1,8 persen ke atas.

"Di luar, smelter atau buyer banyak yang menyerap nikel berkadar 1,65 persen hingga 1,7 persen. Cost produksi kami US$20 per ton, dengan biaya segitu dan smelter membeli US$15 per ton hingga US$18 per ton. Kerugian kami tanggung," ucapnya.

Selama ini, lanjut Meidy, tak ada keberpihakan pada pengusaha lokal. Para penambang pun pada akhir tahun lalu diberikan kado berupa kenaikan royalti nikel dari 5 persen menjadi 10 persen, sedangkan royalti untuk smelter turun dari 4 persen menjadi 2 persen.

"Kami dukung hilirisasi. 99 persen smelter di Indonesia merupakan PMA. Kami mau bangun smelter, diberikan relaksasi ekspor 3 tahun dari 2017, tetapi 2020 sudah disetop. Padahal ekspor nikel ore yang kami lakukan buat equity untuk bangun smelter bukan dapat modal," terangnya.

Para penambang juga masih menampung kerugian akibat penutupan ekspor sementara yang dilakukan secara tiba-tiba oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun lalu akibat adanya lonjakan ekspor nikel.

Hal itu berdampak kerugian penambang sebesar US$600 miliar untuk biaya demurrage lokal dan vessel selama 1 bulan akibat pemberhentian kapal. "Banyak kerugian yang harus kami tanggung," kata Meidy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Editor : Miftahul Ulum

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper