Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Resesi di Depan Mata, Efektivitas Program PEN Disoroti

Ekonom Indef menilai program PEN masih belum fokus terhadap sektor riil. Alhasil, beberapa program PEN tidak terserap dengan baik.
Awan hitam menyelimuti langit Jakarta, Senin (10/12/2018)./ANTARA-Rivan Awal Lingga
Awan hitam menyelimuti langit Jakarta, Senin (10/12/2018)./ANTARA-Rivan Awal Lingga

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi, salah satunya melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang anggarannya mencapai Rp695,2 triliun.

Ekonomi Indonesia sepertinya tidak terelakkan dari resesi. Pasalnya, pemerintah memproyeksikan ekonomi pada kuartal III/2020 akan terkontraksi pada kisaran -2,9 persen hingga -1,0 persen.

Sementara proyeksi ekonomi keseluruhan tahun 2020 akan terkontraksi pada kisaran -1,7 persen hingga -0,6 persen.

Berdasarkan data terbaru, serapan anggaran PEN baru mencapai Rp254,4 triliun atau 36,6 persen dari pagu sebesar Rp695,2 triliun.

Serapan anggaran tertinggi tercatat pada program perlindungan sosial yang sudah terealisasi 57,49 persen atau mencapai Rp134,4 triliun dari pagu Rp203,91 triliun, dan program sektoral Pemda sebesar 49,26 persen atau Rp20,53 triliun.

Realisasi anggaran kesehatan sejauh ini baru mencapai Rp18,45 triliun dari pagu Rp87,5 triliun atau hanya terserap kurang lebih 21 persen.

Sementara, untuk insentif usaha telah terealisasi sebesar 18,43 persen atau Rp22,23 triliun dan dukungan ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 41,34 persen atau Rp58,74 triliun.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai program dan serapan anggaran PEN sejauh ini belum terlihat keefektifannya.

Menurut Bhima, program PEN sejak awal juga dirancang terlalu fokus pada sektor keuangan perbankan, padahal sektor riil penting untuk diselamatkan.

"Misalnya penempatan dana di bank, kemudian relaksasi kredit, bahkan penyaluran bantuan produktif mikro dan ultra mikro juga lewat bank, bukan koperasi," katanya kepada Bisnis, Kamis (24/9/2020).

Di samping itu, Bhima mengatakan insentif fiskal yang digelontorkan pemerintah juga tidak semuanya terserap dengan baik.

Misalnya, hingga 14 September alokasi anggaran untuk PPh 21 DTP yang sebesar Rp40 triliun baru terserap 4 persen.

Sementara itu, pemicu kontraksi ekonomi di Indonesia salah satunya berasal dari sisi konsumsi. Sektor konsumsi memegang peranan yang besar dalam perekonomian Indonesia.

Pemerintah memproyeksikan permintaan di kuartal III/2020, konsumsi rumah tangga masih akan berada pada zona kontraksi, yaitu -3 persen hingga -1,5 persen.

Pada kesempatan berbeda, Peneliti senior INDEF Enny Sri Hartati mengatakan pertumbuhan ekonomi yang dihadapkan pada situasi kontraksi adalah hal yang normal, karena terjadi di semua negara.

Dia bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal IV/2020 masih berpotensi minus. Menurutnya, permasalahan masih terhambatnya penanganan pandemi Covid-19 adalah dari sisi efektivitas fiskal.

Misalnya, program perlindungan sosial masih belum efektif dijalankan hingga saat ini. Masih terdapat masalah tumpang tindih data termasuk data berapa masyarakat yang sudah mendapat bantuan sosial tidak terekam, sehingga efektivitas program ini pun tidak bis diukur.

Menurutnya, jika program perlindungan sosial optimal sekalipun, Indonesia tetap tidak bisa mengerem terjadinya kontraksi ekonomi.

"Kontraksi ekonomi adalah hal yang normal, di semua negara terjadi. Yang berbeda adalah respon kebijakan. Persoalan kita bukan di moneter, persoalan menghadapi pandemi ini yang masih terhambat adalah efektivitas fiskal," katanya.

Selama adanya perbaikan di sisi fiskal, kata Enny, baik efektivitas melalui stimulus, intervensi, dan insentif, maka perbaikan di kuartal IV/2020 akan sangat memungkinkan.

Sepanjang kontraksi pada kuartal III/2020 tidak sedalam kuartal II/2020 yang tercatat -5,32 persen, maka artinya terjadi perbaikan ekonomi selama periode tersebut.

"Celakanya, kalau kuartal III/2020 lebih dalam dari -5,32 persen, celakanya lagi kalau yang dikambinghitamkan adalah PSBB, padahal PSBB [jilid II] baru [diberlakukan] 2 minggu," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper