Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Wihana Kirana Jaya

Guru Besar Fakultas Ekonomi & Bisnis UGM

Wihana Kirana Jaya adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dia adalah alumni Fakultas Ekonomi UGM dan meraih gelar master dari University of Birmingham Inggris, kemudian meraih doktor dari Monash University Australia.

Lihat artikel saya lainnya

Sekali lagi Soal OJK, yang Dibutuhkan Capacity Building Nonperbankan

Hal yang dibutuhkan sebenarnya bukan melebur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Bank Indonesia melainkan ‘capacity building’ OJK, khususnya dalam pengawasan industri keuangan nonperbankan.
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Teori agensi menyatakan bahwa asimetri informasi dapat menyebabkan masalah adverse selection dan moral hazard, serta kemungkinan konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen seperti dikemukakan antara lain oleh Michael Jensen dan William Meckling.

Selain itu, karena adanya faktor ‘agents self-satisfying behaviour’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘nobelis’ Amartya Sen dan Oliver Williamson maka diperlukan tindakan pemantauan atau supervisi oleh principal, baik langsung maupun melalui agen independen lainnya yang ditunjuk kendati berimplikasi pada biaya pemantauan/supervisi.

Dalam bidang kebijakan moneter, prinsipal adalah ‘negara’ yang dapat diwakili oleh pemerintah dan/atau DPR, sedangkan bank sentral menjalankan mandat dan fungsi sebagai ‘agen’ dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan di bidang moneter dan stabilitas sistem keuangan secara independen, termasuk sebagai ‘lender of the last resort’.

Kabar atau selentingan atau setidaknya wacana tentang peleburan atau reorganisasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Bank Indonesia (BI) di tengah pandemi patut dicermati dengan bijak. Peleburan ini akan berarti ‘pengembalian’ fungsi pengawasan dari OJK kepada BI.

Sebab, jika dilebur atau direorganisasi, nama OJK pasti hilang, yang muncul tetap nama ‘Bank Indonesia’ sebagaimana Banque de France di Prancis yang di dalamnya terdapat otoritas administrasi independen Autorite de controle prudentel et de resolution/ACPR yang berfungsi mengawasi industri perbankan dan asuransi.

Dari sisi pendekatan supervisi, sejumlah negara menggunakan pendekatan/rezim institusional (China dan Meksiko), pendekatan fungsional (Prancis dan Brasil), dan pendekatan terintegrasi (Jerman dan Jepang). Selain itu, terdapat pendekatan ‘non monopolist regulator’ atau ‘twin peaks’ dengan dua institusi regulator/supervisory yang fokus pada bidang inti masing-masing seperti di Australia, Belanda, Turki , Korea Selatan, dan Afrika Selatan.

Inggris pun berubah dari rezim terintegrasi menjadi ‘twin peak’, sedangkan AS merupakan pengecualian karena kompleksitasnya dari tingkat federal hingga ke tingkat negara bagian.

Indonesia mengikuti pendekatan terintegrasi. Hal ini sesuai Pasal 5 UU No. 21/2011 tentang OJK. Baik pemisahan dan penggabungan fungsi kebijakan moneter dan pengawasan perbankan masing-masing memilki argumen.

Pemisahan dua fungsi ini memiliki setidaknya tiga alasan. Pertama, otonomi bank sentral menjadi argumen kuat untuk melepaskan fungsi tanggung jawab otoritas moneter dalam supervisi perbankan, sehingga fokus dalam formulasi dan implemenasi kebijakan moneter.

Penyematan tujuan dan fungsi lain yang terkait dengan supervisi perbankan menjadi faktor yang dapat menciderai otonomi bank sentral. Pasalnya hal ini dapat memperlemah dan sebagai kompromi dari mpromikan tujuan utama dalam menjamin stabilitas mata uang, dan mencapai stabilitas moneter yang berkaitan dengan stabilitas sistem keuangan.

Kedua, arus informasi yang lebih baik dapat diperoleh ketika dua institusi yang berbeda memegang dua fungsi tersebut.

Ketiga, dalam situasi krisis, bank sentral yang juga berperan dalam pengawasan perbankan, akan lebih rentan terhadap tekanan politik. Otoritas moneter tidak perlu terlibat dalam intervensi dan likuidasi perbankan, sehingga reputasi bank sentral tetap terjaga.

Sebaliknya, setidaknya juga ada tiga alasan utama untuk menggabungkan fungsi pengawasan dalam otoritas moneter. Pertama, terkait dengan peran strategis sistem pembayaran yang dapat mentransmisikan risiko sistemik ke dalam perekonomian.

Kedua, terkait dengan solusi krisis sistemik itu sendiri, di mana bank sentral menjadi ‘lender of last resort’ bagi sistem perbankan.

Bagaimana bank sentral dapat mengetahui sebuah bank dalam kondisi insolven jika tidak menjadi agen supervisi? Hipotesis ini menjadi dasar argumen bagi yang mempertahankan pentingnya bank sentral dengan wewenang supervisi, terutama ketika sedang krisis dapat secara cepat memperoleh informasi.

Ketiga, wewenang supervisi memungkinkan tindakan yang lebih efisien bagi bank sentral dibandingkan dengan koordinasi tindakan antara dua entitas yang berbeda. Namun, argumen-argumen di atas tidak cukup untuk menjawab apakah OJK perlu dipertahankan atau dilebur dengan BI.

Mempertahankan eksistensi OJK sebagai lembaga independen memiliki sejumlah alasan. Pertama, kendati OJK tidak memiliki ‘bantalan’ dalam UUD 45 tetapi pembentukannya merupakan amanat Pasal 34 (1) UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Ketentuan ini menyebut tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan UU.

Kedua, sesuai dengan konsiderans dalam UU No. 21/2011 tentang OJK , pembentukannya adalah dalam rangka membangun ‘good governance’ penyelenggaraan sistem jasa keuangan pascakrisis moneter 1998 dan krisis global 2008.

Sebelum lahirnya UU No. 21/2011 tentang OJK, terjadi beberapa kasus besar yang melibatkan BI seperti BLBI (1998), suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI (2004), dan skandal Bank Century (2008-2009) dengan penyelesaian yang berlarut-larut sempat menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap BI menurun.

Alhasil reputasi BI harus dipulihkan tetapi OJK juga perlu diberdayakan. Ketiga, kinerja OJK dalam pengawasan industri perbankan selama ini cukup baik. Namun, kinerja OJK dipandang kurang optimal dalam pengawasan jasa keuangan nonperbankan. Keempat, dalam situasi pandemi, OJK dibutuhkan untuk meningkatkan fungsi pengawasan terkait dengan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional di sektor perbankan dan industri keuangan nonbank.

Sebaliknya, secara objektif kita kesulitan untuk mendapatkan argumen kuat urgensi peleburan OJK dengan BI. Apakah hanya karena kasus Jiwasraya? Kasus insolvensi Jiwasraya sudah ada setidaknya lima tahun sebelum lahirnya UU No. 21/2011 tentang OJK.

Jadi, yang dibutuhkan sebenarnya bukan melebur OJK dengan BI, melainkan ‘capacity building’ OJK, khususnya dalam pengawasan industri keuangan nonperbankan. Hal ini konsisten dengan pendekatan atau rezim regulasi/supervisi yang dipilih, yakni pendekatan terintegrasi.

Teori agensi mendukung keberadaan OJK sebagai institusi pengawasan jasa keuangan yang independen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper