Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Curhat Sri Mulyani, Banyak Salah Kaprah soal Utang Negara

Sri Mulyani menjelaskan bahwa utang tersebut kemudian membiayai operasional dan berbagai program untuk masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan pers tentang realisasi pelaksanaan APBN 2021 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (3/1/2022)./Antara-Sigid Kurniawan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan pers tentang realisasi pelaksanaan APBN 2021 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (3/1/2022)./Antara-Sigid Kurniawan.

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani bercerita bahwa kerap terdapat pandangan negatif terhadap penggunaan utang oleh negara, padahal utang dapat menjadi sumber pembiayaan dalam pembangunan dan pelaksanaan berbagai program, selama terdapat perhitungan pengembaliannya.

Hal tersebut disampaikan oleh Sri Mulyani saat inspeksi pembangunan infrastruktur penyangga ibu kota negara (IKN) di Provinsi Kalimantan Timur, Rabu (5/1/2022), di Institut Teknologi Kalimantan, Balikpapan. Kampus tersebut dibangun dengan pembiayaan dari surat berharga syariah negara (SBSN) yang merupakan salah satu instrumen utang.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa dalam pemahaman orang-orang Kementerian Keuangan, SBSN merupakan instrumen pembiayaan. Namun, masyarakat umum, khususnya mereka yang masih awam, seringkali menyebutnya sebagai instrumen utang.

"[SBSN] itu instrumen pembiayaan, untuk membiayai proyek-proyek yang kemudian menjadi underlying atau landasan bagi surat berharga yang sifatnya syariah yang dikeluarkan negara. Jadi, kampus ini adalah belanja modal yang dibiayai SBSN. Kita memang mencatatkan utangnya, tetapi kita punya aset, ya gedung ini, kampus ini," ujar Sri Mulyani, Rabu (5/1/2022).

Menurutnya, masyarakat kerap 'alergi' terhadap kata utang, bahkan terkesan sebagai sesuatu yang terlarang bagi negara. Belakangan, sorotan semakin tertuju kepada Sri Mulyani karena utang pemerintah menembus Rp6.074,56 triliun, dengan dominasi berupa surat berharga negara (SBN).

"Banyak masyarakat kita, bahkan di kampus banyak yang tidak tahu mengenai pengelolaan keuangan negara. Sehingga sering yang dengar-dengar dari headline, utang negara sudah Rp6.000 triliun, apakah itu masih aman, begitu. Tidak pernah melihat neraca itu seluruhnya, ada pendapatan, ada belanja," ujarnya.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa utang tersebut kemudian membiayai operasional dan berbagai program untuk masyarakat, seperti bantuan sosial, subsidi, belanja barang. Komponen utang, baik melalui SBN, SBSN, maupun instrumen lainnya pun turut digunakan dalam pembayaran gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS).

Dia pun menjelaskan bahwa pemerintah akan membayar utang-utang tersebut karena pinjaman terjadi berdasarkan perhitungan kemampuan pengembaliannya. Oleh karena itu, menurutnya, upaya memulihkan ekonomi dapat mendukung pembayaran utang negara, termasuk kepada para pemilik SBN dan SBSN.

"Kalau kita belanjanya bagus, menjadi infrastruktur yang bagus, menjadi SDM yang berkualitas, membuat Indonesia ekonominya tumbuh, ya pasti bisa membayar lagi utangnya. Termasuk SBSN ini pasti kita bayar, Insya Allah bisa kembali dengan aman," ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2021 bahwa terdapat tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga yang melebihi PDB serta penerimaan negara.

"Hasil reviu menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 telah meningkatkan Defisit, Utang, dan SiLPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal," tertulis dalam IHPS I/2021.

BPK menegaskan indikator kerentanan utang 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) serta indikator kesinambungan fiskal (IKF) 2020 sebesar 4,27 persen. Kondisi utang pun telah melampaui batas yang rekomendasi The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411–Debt Indicators, yaitu di bawah 0 persen.

Seperti diketahui, pada 2020 rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen–35 persen. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 persen–6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7 persen–10 persen.

Kemudian rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 persen–167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 persen–150 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper