Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi April 2022 Meroket, BKF Kemenkeu: Masih Sejalan

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, laju inflasi pada April 2022 tercatat 3,47 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka inflasi ini adalah yang tertinggi kedua sejak Agustus 2019 sebesar 3,49 persen.
Pedagang melayani pembeli di Pasar Karbela, Jakarta, Senin (9/5/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95 persen month on month (mom) atau secara tahunan sebesar 3,47 persen year on year (yoy) yang disebabkan kenaikan harga minyak goreng, daging ayam ras dan telur ayam ras. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Pedagang melayani pembeli di Pasar Karbela, Jakarta, Senin (9/5/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95 persen month on month (mom) atau secara tahunan sebesar 3,47 persen year on year (yoy) yang disebabkan kenaikan harga minyak goreng, daging ayam ras dan telur ayam ras. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, laju inflasi pada April 2022 tercatat 3,47 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), meningkat seiring harga komoditas global yang masih tinggi dan menguatnya permintaan di periode Ramadan dan Lebaran.

Angka ini menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2019 dimana inflasi mencapai 3,49 persen.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu menyebutkan capaian ini masih dalam rentang yang diperkirakan pemerintah..

"[Ini] menunjukkan aktivitas ekonomi yang lebih tinggi," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/5/2022).

Inflasi yang terjadi di seluruh kota yang dipantau BPS, menurutnya menjadi bukti bahwa aktivitas ekonomi telah membaik di seluruh daerah.

Komponen inti pada April 2022 tercatat mengalami inflasi sebesar 0,36 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) atau mencapai 2,60 persen yoy.

Inflasi inti yang naik, kata Febrio, mencerminkan daya beli masyarakat yang terus pulih di tengah tekanan harga global dan implementasi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen.

Sementara itu, kenaikan harga pangan terutama didorong oleh minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur dan ikan segar. Hampir seluruh harga bahan makanan meningkat, seiring dengan naiknya permintaan bahan makanan.

Kemudian, pada komponen harga diatur pemerintah (administered price), masih tingginya harga minyak mendorong naiknya harga energi non subsidi seperti gas LPG 12 kilogram dan Pertamax. Selain itu, mobilitas yang tinggi seiring dengan diizinkannya mudik Lebaran setelah dua tahun dilakukan pembatasan, mendorong  kenaikan tarif angkutan udara dan antarkota.

Kendati demikian, Febrio mengatakan peningkatan laju inflasi  masih sejalan dengan proyeksi Kementerian Keuangan.

"Peningkatan laju inflasi ini masih terjaga di dalam rentang sasaran inflasi nasional yaitu 2 hingga 4 persen, sejalan dengan outlook Kementerian Keuangan," ujarnya.

Kenaikan inflasi tersebut sebelumnya sudah diproyeksikan oleh sejumlah ekonom.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyampaikan, pihaknya belum mengkhawatirkan tingkat inflasi per April 2022.

"Ada faktor musiman Ramadan dan Lebaran, di mana ada low base effect juga dari tahun lalu akibat pelarangan mudik. Core inflation juga naik, tapi masih di bawah mid target Bank Indonesia (BI)," kata Faisal kepada Bisnis, Senin (9/5/2022).

Berbeda dengan Faisal, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kenaikan inflasi tersebut justru perlu diwaspadai lantaran bergerak seiring kebijakan pemerintah seperti kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen dan harga Pertamax.

"Memang setelah April, di Mei dan Juni, tingkat permintaan berpotensi lebih rendah jika dibandingkan bulan Ramadan (April). Namun potensi harga komoditas utama berpotensi masih relatif tinggi sehingga masih berpeluang akan memengaruhi dinamika inflasi di bulan berikutnya," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menambahkan, indikasi awal inflasi mulai meningkat bertahap, bukan hanya karena demand pull atau pelonggaran mobilitas melainkan cost push karena biaya produksi naik.

Sehingga menurut dia, yang perlu diwaspadai pasca Lebaran adalah imported inflation dari naiknya biaya impor terutama karena pelemahan nilai tukar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ni Luh Anggela

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper