Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Muhammad Nalar Al Khair

Peneliti Pangan, Desa, dan UMKM Lembaga Riset Sigmaphi

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Tren Ekonomi Saset di Saat Mepet

Sudah begitu banyak effort yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi harga komoditas minyak goreng.
Minyak goreng curah dalam bentuk kemasan 500 mg dan 1 kg/Antara
Minyak goreng curah dalam bentuk kemasan 500 mg dan 1 kg/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga-harga bahan pokok memang kerap menimbulkan ke­ti­dak­la­zim­an. Tengok saja apa yang dialami Ibu Susi, war­ga De­sa Ka­ra­wang, Ka­bu­pa­ten Sukabumi, Jawa Barat.

Aki­bat harga mi­nyak goreng naik, ter­pak­­sa­ ibu ru­mah tang­ga itu membeli ko­mo­di­tas ter­sebut dalam bentuk sa­set yang berukuran sedikit le­bih besar dari ukuran saset ko­pi instan. Volumenya 50 ml, harganya Rp2.000 per sa­set. Jadi, kalau dihitung-hi­tung, itu sama saja Bu Susi mem­beli minyak goreng se­har­ga Rp40.000/liter.

Mahal? Terang saja. Tapi mau apa lagi? Bu Susi terpaksa membeli minyak go­reng saset karena dia tidak mam­pu membeli minyak go­reng kemasan 1 liter seperti se­be­lumnya. Ekonomi me­mang tengah sulit. Badan Pu­sat Sta­tistik (BPS) sudah mengumumkan bahwa inflasi makanan, minuman, dan tembakau men­ca­pai 5,62 persen year-on-year (YoY) pada Mei 2022. Inflasi sub ke­lom­pok makanan terca­tat me­nyumbangkan nilai in­fla­si tertinggi, yaitu sebesar 0,90 persen.

Memang, bukan hanya Indonesia yang mengalami peningkatan harga minyak goreng, Malaysia pun sama. Namun, ketika pemerintah Malaysia mengeluarkan aturan bahwa minyak goreng kemasan 5 kg tidak boleh dijual lebih dari 30 ringgit Malaysia, tim kajian Sigmaphi menemukan bahwa kebijakan tersebut dipatuhi oleh para pedagang. Mereka menjual harga minyak goreng seukuran itu maksimal 29,7 ringgit Malaysia.

Di sini boro-boro. Sudah begitu banyak effort yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi harga komoditas licin tersebut. Mulai dari tarik ulur kebijakan, pemberian subsidi lewat produsen, hingga akhirnya pemerintah merilis bantuan sosial untuk menopang daya beli warga terhadap harga komoditas ini. Tetap saja itu semua sia-sia.

Problematika harga pangan yang tidak sesuai ketetapan pemerintah terjadi karena fungsi aturan pengendalian harga yang belum jelas. Apakah kebijakan harga acuan dan harga eceran tertinggi (HET) hanya sebagai referensi yang tidak harus dipatuhi atau seperti apa?

Karena aturan pengendalian harga bukan ditetapkan baru-baru ini saja, melainkan sudah sejak 2016 melalui Permendag No. 63/2016 Tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Sejak saat itu pula mayoritas harga pangan yang diatur di dalamnya berada di atas ketentuan tersebut hingga saat ini.

Akibat tidak adanya sanksi yang jelas itu, maka aturan pe­me­rintah tak ubahnya m­a­can ompong. Di pasaran harga terus melesat. Pro­du­sen mengakali tertekannya da­ya beli konsumen kelas ba­wah dengan cara itu tadi, me­lan­sir produk pangan da­lam ukuran saset. Produk yang paling mudah dijumpai ada­lah minyak goreng dan gu­la pasir.

Kelihaian para pe­ngu­saha mengambil ceruk pa­sar akibat terpuruknya da­ya be­li dianggap sebagai al­ter­natif bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial. Padahal, itu ha­nya ilusi. Yang terjadi, ke­mam­puan masyarakat justru bakal kian terjerembap di­terpa badai tingginya harga pangan. Bayangkan saja, di saat harga-harga kian mahal, orang-orang seperti Bu Susi justru dibuat tak mampu mengefisienkan pengeluarannya yang sudah kecil itu.

Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal I/2022 tercatat sebesar 4,34 persen YoY. Angka tersebut memang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya untuk periode yang sama yaitu -2,23 persen. Akan tetapi masih jauh jika dibandingkan dengan tahun sebelum pandemi Covid-19 pada 2019 yaitu 5,02 persen dan 2018 di angka 5,17 persen.

Kondisi ini menjadi tantangan pemerintah dalam upaya mengembalikan pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen, apalagi jika dihadapkan dengan tuntutan untuk menghapus masyarakat miskin ekstrem secara keseluruhan di tahun 2024 nanti.

Instruksi Presiden No. 4/2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang terbit pada 8 Juni lalu akan sulit tercapai tujuannya karena tingginya harga pangan ini. Sementara peningkatan pendapatan sulit diharapkan. Paling banter pendapatan hanya naik sekali dalam setahun ketika peningkatan harga bisa terjadi berkali-kali dalam periode yang sama.

Dana bantuan sosial yang diberikan pemerintah akhirnya tidak lagi mampu membeli bahan pangan dengan jumlah yang sama. Jadi, alih-alih terentaskan, jumlah penduduk miskin ekstrem justru bisa bertambah.

Untuk itu pemerintah harus memperjelas kekuatan hukum dari aturan stabilisasi harga baik dalam bentuk harga acuan maupun HET. Apakah cukup hanya sebagai referensi yang mengakibatkan harga tidak terkontrol seperti saat ini, atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan memberikan hukuman nyata kepada pihak-pihak yang melanggar? Masyarakat menunggu tindakan nyata pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang kian berlarut-larut. Tentunya Menteri Perdagangan yang baru dilantik pada 15 Juni ini harus menjawabnya.

Sebagai Menteri Per­da­gangan yang baru, Zulkifli Hasan diharapkan mampu me­wujudkan kondisi harga pangan yang stabil dan ter­jang­kau sesuai yang diamanatkan masyarakat. Mam­pu­kah dia mengemban tanggung jawab ini? Ya, kali aja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper