Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Desmon Silitonga

Riset Analis PT Capital Asset Management

Desmon Silitonga adalah Riset Analis PT Capital Asset Management. Alumni dan peraih gelar magister manajeman Universitas Indonesia ini sudah berpengalaman dan pernah bekerja di PT Millenium Capital Management serta PT Finansial Bisnis Informasi.

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Menjaga Denyut Ekonomi yang Stabil

Perekonomian Indonesia tentu tidak akan imun dari risiko dan perubahan kebijakan dari negara-negara maju
Suasana deretan gedung bertingkat dan perumahan padat penduduk di Jakarta, Senin (4/7/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Suasana deretan gedung bertingkat dan perumahan padat penduduk di Jakarta, Senin (4/7/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Sejak 2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia berangsur-angsur pulih, setelah terkontraksi sepanjang 2020 akibat hantaman pandemi Covid-19. Bahkan, berdasarkan ramalan dari Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF), perekonomian Indonesia sepanjang 2022 dan 2023 berpeluang tumbuh di atas 5 persen (year-on-year/YoY).

Jika ramalan itu terjadi, maka capaian ini sangat layak diapresiasi. Sebab, dalam 2 tahun ke depan, perekonomian dunia dihadapkan pada risiko yang besar. Bahkan, Bank Dunia telah memberi peringatan akan potensi besar perekonomian dunia masuk ke jurang resesi.

Pemantik dari resesi ekonomi dunia ini adalah meletusnya invasi militer Rusia terhadap Ukraina. Sudah lebih dari 6 bulan, invasi militer ini masih terus berlanjut. Berbagai diplomasi telah dilakukan untuk mengakhiri invasi ini, termasuk oleh Presiden Jokowi. Namun, sampai saat ini belum menunjukkan perkembangan yang positif. Serangan militer belum reda.

Salah satu dampak dari invasi ini terganggunya pasokan berbagai komoditas (energi, pangan, dan mineral). Sebab, dua negara ini merupakan salah satu lumbung komoditas penting.

Selama invasi militer ini berlangsung, maka harga komoditas penting itu akan cenderung bertahan di level yang tinggi. Padahal, harga komoditas, khususnya energi yang murah amat dibutuhkan untuk menggerakkan mesin ekonomi. Bukan itu saja, tragedi kelaparan bisa terjadi, khususnya di benua Afrika yang sangat tergantung pada pasokan gandum dari Ukraina.

Selain itu, kebijakan zero covid (menutup aktivitas satu kota, ketika ditemukan satu kasus infeksi Covid-19) membuat perbaikan rantai pasok dunia sulit dilakukan. Sebab, China merupakan ‘hub’ penting bagi kebutuhan aktivitas manufaktur dan perdagangan dunia.

Dampak dari kebijakan zero covid ini telah membuat pertumbuhan ekonomi China meredup di kuartal II/2022 menjadi 0,4 persen (YoY) dari periode yang sama tahun 2021 sebesar 18,3 persen (YoY).

Tentu saja, dengan meredupnya pertumbuhan ekonomi China akan memberikan dampak terhadap perekonomian di negara-negara lain, salah satunya Indonesia. Sebab, China memberikan kontribusi sekitar 20 persen terhadap nilai ekspor Indonesia.

Situasi makin rumit, karena bank sentral di negara-negara maju, khususnya The Fed semakin agresif untuk menaikkan suku bunga kebijakannya sebagai upaya untuk meredam inflasi yang terus melambung.

Sejumlah kalangan banyak mengkritik kebijakan ini. Sebab, kenaikan suku bunga tidak akan efektif meredam inflasi, tanpa adanya upaya untuk memulihan sisi pasokan yang sampai saat ini masih tetap ‘sakit’ akibat invasi Rusia dan kebijakan zero covid China. Sebaliknya, kebijakan ini makin mempercepat perekonomian di negara maju masuk jurang resesi.

Bukan itu saja, penaikan suku bunga yang agresif itu akan meningkatkan volatilitas harga aset dan pelemahan nilai tukar di negara-negara berkembang akibat aliran modal keluar (capital outflow).

Salah satu dampak dari pelemahan nilai tukar ini ialah meningkatnya beban pembayaran bunga/principal Utang Luar Negeri (ULN) bagi negara-negara yang eksposure ULN sangat besar. Itulah sebabnya, menurut survei sebuah lembaga kajian ekonomi, Visual Capitalist, terdapat 25 negara yang berpotensi besar mengalami kebangkrutan.

Sehingga, untuk meredam aliran modal ini, maka bank sentral di negara-negara berkembang mau tak mau harus menaikkan suku bunganya. Dan, sekali lagi, kenaikan suku bunga akan menarik mundur proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.

INFLASI

Sebagai perekonomian terbuka, perekonomian Indonesia tentu tidak akan imun dari risiko dan perubahan kebijakan dari negara-negara maju ini. Potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik sangat terbuka.

Namun, mengingat motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi Rumah Tangga (RT). Maka, menjaga vitalitas konsumsi RT menjadi sangat penting, agar denyut pertumbuhan ekonomi tidak melemah dengan cepat. Seperti yang sudah terjadi di negara-negara berkembang lainnya.

Masalahnya, agar vitalitas konsumsi terjaga, maka inflasi yang rendah dan stabil dibutuhkan. Sepanjang 2015—2019, rata-rata inflasi tahunan di bawah 4 persen. Sayangnya, inflasi tahun ini akan cenderung lebih tinggi. Berdasarkan proyeksi Bank Indonesia, inflasi sampai akhir 2022 bisa menembus 4,5 persen (YoY).

Oleh sebab itulah, komunikasi dan sinergi kebijakan harus terus dijaga agar lonjakan inflasi tidak melampaui perkiraan. Sejauh ini, pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk meredam inflasi harga bergejolak (bahan pangan) dengan menjaga keamanan pasokan dan percepatan distribusi bahan pangan.

Sedangkan untuk meredam inflasi harga yang diatur pemerintah dengan menaikkan subsidi BBM hingga Rp520 triliun. Meski subsidi ini harus kembali ditinjau, sebab tak tetap sasaran. Dan digeser untuk memperkuat bantuan perlindungan sosial untuk masyarakat bawah yang memang jadi pihak yang akan terpukul keras oleh kenaikan inflasi.

Kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk mengawal inflasi sampai saat ini masih dilakukan melalui kebijakan nonbunga dibandingkan suku bunga. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Kebijakan non-suku bunga itu ialah dengan menegetatkan likuiditas (menaikkan rasio GWM) dan memperkuat kebijakan triple intervention (spot, NDF, dan SBN). Meski harus diakui, jika The Fed makin agresif menaikkan suku bunganya, maka peluang bagi kenaikan suku bunga acuan (BI-7DRR) sangat terbuka dilakukan.

Tentu saja, pengendalian infeksi Covid-19 juga harus terus diperkuat. Apalagi, dalam 1 bulan terakhir, tren kenaikan kasus infeksi terus terjadi. Hal ini bisa kembali menurunkan kepercayaan dan menganggu mobilitas masyarakat. Perlu dicatat bahwa resesi yang terjadi pada ekonomi Indonesia pada tahun 2020 lalu akibat terkuncinya mobilitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper