Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPS Blak-blakan soal Dampak Penurunan Manufaktur China ke Ekspor RI

BPS buka suara soal dampak pelemahan purchasing manager index (PMI) manufaktur China terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Seorang karyawan bekerja di lini produksi serat karbon di dalam sebuah pabrik di Lianyungang, provinsi Jiangsu, China, 27 Oktober 2018./REUTERS
Seorang karyawan bekerja di lini produksi serat karbon di dalam sebuah pabrik di Lianyungang, provinsi Jiangsu, China, 27 Oktober 2018./REUTERS

Bisnis.com, JAKARTA – PMI atau purchasing manager index yang menunjukkan aktivitas manufaktur di China tercatat mengalami pelemahan dan menuju zona kontraksi pada April 2023 sebesar 49,2. Kondisi tersebut memberikan kekhawatiran bagi kinerja ekspor Indonesia, mengingat China sebagai mitra dagang utama. 

Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik Badan Pusat Statsitik (BPS) Imam Machdi mengungkapkan pihaknya belum memastikan dampak dari menurunnya PMI China terhadap perdagangan Indonesia.
 
“Berkaitan dengan turunnya PMI China, memang perlu kami lakukan kajian lebih mendalam. Apakah dengan adanya penurunan PMI ini benar-benar mempengaruhi kinerja perdagangan Indonesia dengan China?” ujarnya dalam Rilis BPS, Senin (15/5/2023). 
 
Imam juga meminta pihak-pihak terkait untuk melihat perkembangan PMI dari negara mitra dagang, khususnya China. 
 
Pasalnya, PMI Manufaktur China kembali masuk ke zona kontraksi, atau di bawah 50 poin, setelah selama kuartal I/2023 ekspansif di atas 50, pascapembukaan pintu masuk China. 
 
“Mungkin pihak-pihak terkait yang untuk bisa melihat perkembangan PMI ini dengan kinerja neraca perdagangan ini perlu melakukan kajian lebih mendalam,” tambah Imam. 
 
Sementara itu, perdagangan Indonesia mencatatkan surplus dengan China sebesar US$479,6 juta atau sekitar Rp7 triliun (kurs Rp14.661 per dolar AS) pada April 2023.
 
Meski mencatatkan surplus, perdagangan nonmigas Indonesia dengan China untuk ekspor tercatat turun sebesar 18,49 persen secara bulanan atau month-to-month (mtm) menjadi US$4.620,5 juta. 
 
BPS juga melaporkan kinerja impor nonmigas kedua negara mitra dagang tersebut turun hingga 27,12 persen (mtm) menjadi US$4.140,9 juta.
 
Seperti diberitakan Bisnis.com sebelumnya, Ekonomi China tumbuh pada laju yang lebih cepat dari perkiraan pada kuartal pertama berkat konsumsi jasa yang kuat, tetapi output pabrik tertinggal di tengah pertumbuhan global yang lemah. 
 
Perlambatan harga dan lonjakan simpanan bank menimbulkan keraguan tentang permintaan. Pada Maret 2023 PMI China telah menunjukkan ekspansif di angka 51,9, turun dari capaian Februari 2023 sebesar 52,6. Sementara pada April 2023 kembali melemah ke angka 49,2. 
 
Dilansir dari Reuters pada Minggu (30/4/2023), capaian April ini meleset dari ekspektasi 51,4 yang diperkirakan oleh para ekonom dan menandai kontraksi pertama sejak Desember tahun lalu, ketika PMI manufaktur resmi berada di level 47,0.
 
PMI menunjukkan pesanan ekspor baru turun menjadi 47,6 dari 50,4 pada Maret 2023. Sektor manufaktur, yang menyediakan lapangan pekerjaan untuk sekitar 18 persen dari mereka yang bekerja secara nasional, tetap berada di bawah tekanan karena permintaan global yang lemah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper