Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Top 5 News Bisnisindonesia.id: Denda Smelter hingga Ancaman El Nino

Berita tentang denda keterlambatan pembangunan smelter menjadi salah satu berita pilihan editor pada Senin (29/5/2023)
Ilustrasi-Canva
Ilustrasi-Canva

Bisnis.com, JAKARTA – Tidak tercapainya progres pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) mineral logam di dalam negeri sesuai dengan amanat Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020, membuat pemerintah menetapkan sanksi denda keterlambatan kepada sejumlah badan usaha.

Sesuai dengan amanat Pasal 170A UU Minerba tersebut, pembangunan fasilitas smelter mineral sejatinya harus sudah diselesaikan pada 10 Juni 2023, dan batas pengiriman mineral ke luar negeri maksimal 3 tahun sejak UU tersebut disahkan.

Berita tentang denda keterlambatan pembangunan smelter menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id hari ini. Selain berita tersebut, sejumlah berita menarik lainnya turut tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id.

Berikut ini highlight Bisnisindonesia.id, Senin (29/5/2023):

1. Menghitung Sanksi Denda Keterlambatan Pembangunan Smelter

Nantinya, besaran sanksi denda atas keterlambatan penyelesaian smelter tersebut akan ditetapkan sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 89 Tahun 2023 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri.

Berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 89 Tahun 2023, penambahan waktu ekspor atau relaksasi tetap dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengenakan sanksi terhadap badan usaha.

Namun, izin relaksasi ekspor tersebut diberikan hanya kepada badan usaha tertentu, yakni pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang telah memiliki kemajuan pembangunan fasilitas smelter konsentrat mineral logam di atas 50 persen pada Januari 2023.

Berdasarkan hasil verifikasi dari verifikator independen terdapat lima badan usaha yang telah memiliki kemajuan pembangunan smelter konsentrat di atas 51 persen, yakni PT Freeport Indonesia (tembaga), PT Amman Mineral Nusa Tenggara (tembaga), PT Sebuku Iron Lateritic Ores (besi), dan dua smelter milik PT Kapuas Prima Coal, yakni PT Kapuas Prima Citra (timbal) dan PT Kobar Lamandau Mineral (seng).

Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah memfinalisasi besaran denda administratif atau pinalti keterlambatan pembangunan smelter untuk kelima perusahaan mineral logam tersebut, yang mendapat relaksasi ekspor konsentrat hingga 31 Mei 2024.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, kementeriannya masih menghitung besaran denda yang mesti dibayar lima pemegang IUP/IUPK yang telah menyelesaikan 50 persen pembangunan smelter mereka masing-masing.

2. Kisah Jatuh Bangun Bumi Resources (BUMI) dari Tangan ke Tangan

PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan seiring dengan langkah perseroan yang hendak memboyong salah satu anak usahanya, yakni PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk. (VKTR) ke lantai Bursa pada Mei 2023 ini.

Calon emiten ini merupakan perusahaan yang bergerak di industri kendaraan listrik. Aksi korporasi ini sekaligus menandakan keseriusan Grup Bakrie melebarkan sayapnya di bisnis energi hijau di sektor kendaraan listrik, setelah selama ini berkutat dengan energi fosil batu bara lewat BUMI.

Seiring dengan langkah ekspansi Grup Bakrie ke lini baru ini, menarik untuk kembali mencermati sepak terjang kendaraan bisnis grup ini yang sahamnya cukup populer di kalangan investor, yakni BUMI. 

Grup Bakrie sejatinya bukan lagi menjadi pemilik terbesar BUMI, tetapi anggota keluarga grup ini masih tetap menjadi petingginya. Belakangan, ada Grup Salim yang turut menjadi pemilik emiten batu bara dengan cadangan terbesar di Indonesia tersebut.

Namun, jauh sebelum Bakrie maupun Salim menguasai BUMI, emiten ini sempat dimiliki oleh AJB Bumiputera 1912 (Bumiputera). Perusahaan ini pun bukanlah perusahaan tambang.

BUMI yang kini investor kenal semula bernama Bumi Modern. Perseroan memulai bisnisnya di bidang properti hotel dan jasa wisata, kemudian pertama kali menjadi perusahaan tercatat di bursa pada 30 Juli 1990. Pada saat IPO 33 tahun lalu, BUMI menawarkan 10 juta saham dengan harga Rp4.500 per unit, sehingga meraup dana segar Rp45 miliar.

Setelah IPO, saham BUMI kemudian digenggam oleh publik sebanyak 29 persen dan 71 persen lainnya dipegang Bumiputera. Selanjutnya, pada 1997, Grup Bakrie masuk menjadi pemegang saham BUMI dan membawa perubahan besar pada bisnis inti perseroan.

 

3. Musim Semi Angkasa Pura II Lepas dari Pandemi

PT Angkasa Pura II (Persero) atau AP II mulai menunjukkan pemulihan kinerja keuangan dan operasional setelah sempat berdarah-darah selama dua tahun pandemi Covid-19. 

Perbaikan kinerja terlihat dari berlanjutnya tren positif pertumbuhan kinerja baik dari sisi operasional maupun keuangan hingga kuartal I/2023. Perseroan merekam 18,25 juta pergerakan penumpang selama periode tersebut di 20 bandara kelolaan dengan 140.000 pergerakan pesawat.

Dari sisi keuangan, pendapatan AP II naik 75 persen menjadi Rp2,75 triliun. Sejalan dengan peningkatan pendapatan, sepanjang Januari - Maret 2023 AP II berhasil membukukan laba usaha Rp617,01 miliar atau meroket 399 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Direktur Utama AP II Muhammad Awaluddin mengatakan akselerasi dan optimalisasi bisnis menjadi faktor utama sehingga perseroan meraih peningkatan pendapatan dan laba usaha. Pertumbuhan kinerja ini belum termasuk pergerakan penumpang pada momentum Lebaran Idulfitri.

Awaluddin memaparkan, peningkatan kinerja keuangan ditopang 3 program utama AP II yang dijalankan sejak awal tahun ini yaitu Recovering Customer Experience, Restructuring Financial Foundation dan Regrowing Business Ecosystem.

4. IPO VKTR dan Peta Persaingan Emiten Kendaraan Listrik

Satu lagi perusahaan kendaraan listrik yang bakal masuk dalam jajaran emiten di Bursa Efek Indonesia, menjadikan pilihan emiten di sector ini makin beragam. Namun, sebaik apa daya tarik emiten di industri ini?

Deretan perusahaan yang mengoperasikan bisnis kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) bertambah seiring dengan rencana PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR) untuk memboyong anak usaha PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk. (VKTR) maju IPO ke bursa saham sebagai perusahaan tercatat.

VKTR akan melepas 8,75 miliar saham baru dengan nominal Rp10 per saham. Jumlah saham ini mewakili 20 persen saham dari modal dan ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO. Harga penawaran berkisar antara Rp100—Rp130 per saham sehingga total dana yang diincar menembus Rp1,13 triliun.

Aksi korporasi VKTR untuk menghimpun dana publik turut dimodali oleh catatan kinerja yang positif. Penjualan neto VKTR pada akhir 2022 mencapai Rp1,07 triliun, meningkat 57,71 persen dibandingkan dengan 2021 sebesar Rp679,17 miliar.

Peningkatan tersebut disebabkan oleh adanya penjualan 30 unit bus listrik dan peningkatan penjualan perusahaan anak perseroan. 

Adapun laba sebelum manfaat pajak penghasilan VKTR untuk 2022 adalah sebesar Rp75,85 miliar, meningkat 37,36 persen dibandingkan dengan 2021. Peningkatan tersebut disebabkan oleh terdapatnya keuntungan atas pelepasan saham pada entitas anak sebesar Rp2,42 miliar.

 

5. Alarm Sektor Terdampak Fenomena El Nino, dari CPO hingga Farmasi

Fenomena El Nino yang hampir dipastikan melanda Indonesia yang kemudian dapat memengaruhi kinerja saham dan operasional sejumlah emiten, di antaranya  sektor perkebunan dan CPO, farmasi, serta consumer goods. 

Dinamika iklim panas El Nino yang disertai dengan kekeringan berkepanjang tersebut secara historis memiliki dampak signifikan bagi kinerja emiten di sejumlah sektor. Terkait hal itu, melalui risetnya analis BRI Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto, Hasan Barakawan dan Ismail Fakhri Suweleh menyebutkan bahwa sektor yang akan terdampak paling besar dari El Nino adalah perkebunan sawit karena bisa memicu penurunan produksi. 

Selain itu, cuaca yang kering selama El Nino bakal menghalangi berkembangnya bunga sawit dan membuat produksi tandan buah segar (TBS) lebih rendah. Analis BRI Danareksa Sekuritas juga menilai fenomena El Nino dalam tiga periode sebelumnya yaitu 2002,  2004, dan 2015 membuat harga CPO naik rata-rata 5,5 persen dan 16 persen dalam 12 bulan setelahnya. 

“Kami memperkirakan tren serupa bakal terjadi dengan potensi kenaikan harga pada semester kedua 2024. Untuk 2023, kami meyakini permintaan yang lemah masih terjadi karena ekspor yang turun, sementara harga minyak nabati lainnya turun,” tulisnya.

Dari sektor konsumer, El Nino terbukti menekan margin perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku komoditas agrikultur seperti CPO, gandum, dan gula dalam kurun 9—15 bulan setelah El Nino melanda. Meski demikian, BRI Danareksa Sekuritas meyakini kenaikan konsumsi menjelang Pemilihan Umum 2024 bakal tetap menjaga performa emiten di sektor ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper