Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ruang Gerak Kredit ke BUMN kian Sempit

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ruang gerak penyaluran kredit kepada badan usaha milik negara (BUMN) semakin sempit. Pasalnya batas maksimal pemberian kredit (BMPK) sebesar 30% dari modal kepada perusahaan pelat merah sudah hampir terpakai secara penuh. Namun otoritas tidak dapat memberikan pelonggaran.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan paparan saat konferensi pers tutup tahun OJK, di Jakarta, Rabu (19/12/2018)./JIBI-Abdullah Azzam
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan paparan saat konferensi pers tutup tahun OJK, di Jakarta, Rabu (19/12/2018)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ruang gerak penyaluran kredit kepada badan usaha milik negara (BUMN) semakin sempit. Pasalnya batas maksimal pemberian kredit (BMPK) sebesar 30% dari modal kepada perusahaan pelat merah sudah hampir terpakai secara penuh. Namun otoritas tidak dapat memberikan pelonggaran.

Ketua OJK Wimboh Santoso mengatakan terlalu berisiko apabila merevisi BMPK agar penyaluran bank lebih leluasa menyalurkan kredit kepada BUMN. “Banyak opsi yang bisa kita explore, pasar modal dan foreign direct investment,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (13/6/2019).

Wimboh menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi nantinya harus mengandalkan sektor swasta. Perusahaan swasta akan mengandalkan foreign direct investment dan pasar modal, sehingga tidak membebankan BMPK industri perbankan.

Sejumlah sektor swasta yang dimaksud adalah perikanan, tambang, dan pariwisata. Selain itu manufaktur potensial untuk terus didorong agar lebih kompetitif.

Kendati demikian, Wimboh optimistis pertumbuhan kredit perbankan akan terjaga hingga tahun depan. Dia memprediksi fungsi intermediasi bank dapat tumbuh antara 12% hingga 14% secara tahunan. Kinerja itu akan mendorong aset bank tumbuh antara 13% hingga 15% secara tahunan.

Adapun dalam aturan yang berlaku saat ini, BMPK untuk korporasi milik negara adalah sebesar 30% dari modal. Dalam regulasi yang sama, BMPK untuk korporasi swasta diatur 20%.

Sebelumnya sejumlah bank memandang BMPK menjadi satu kendala utama penyaluran kredit infrastruktur kepada BUMN. Regulator diminta mempertimbangkan untuk meningkatkan batas tersebut.

Executive Vice President Divisi BUMN 1 PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. I Made Suka mengatakan bahwa BMPK akan semakin mengganjal ekspansi kredit dengan terbentuknya holding infrastruktur dan perumahan BUMN. Pasalnya, aturan BMPK akan tetap mengatur pemberian kredit maksimum kepada holding tersebut tetap 30% dari modal. Dengan kata lain, kemampuan bank menyalurkan kredit tidak akan sejalan dengan kebutuhan holding infrastruktur dan perumahan BUMN.

Senada, Direktur Manajemen Risiko PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, perlu ada pelonggaran aturan BMPK agar bank dapat lebih optimal membiayai proyek infrastruktur pemerintah.

SVP Large Corporate 2 Group PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Yusak Silalahi juga menekankan hal yang sama. Namun demikian, dia mengatakan hal itu dapat diselesaikan melalui beberapa alternatif skema pembiayaan.

Menurutnya, untuk menghadapi tantangan BMPK tersebut, perbankan mau tidak mau harus menjadikan kredit sindikasi sebagai ujung tombang utama. Dengan cara tersebut, kebutuhan kredit infrastruktur diharapkan dapat terpenuhi tanpa mengubah ketentuan.

Selain itu, keterlibatan pasar modal dan alternatif pembiayaan lain dalam pembiayaan infrastruktur tak kalah penting. Menurutnya, saat sebuah proyek infrastruktur telah memasuki masa komersial, kreditur dapat mencari alternatif pembiayaan lain sehingga bank tidak perlu membiayai sesuai dengan tenor panjang yang diberikan.

Sementara itu penyaluran kredit perbankan hingga Mei 2019 masih terpantau dalam tren positif. Penopang pertumbuhan masih berasal dari bidang produktif, terutama untuk infrastruktur.

Berdasarkan catatan otoritas, pada bulan kelima tahun ini kredit yang disalurkan tumbuh 11,55% yoy, menguat dibandingkan bulan sebelumnya, 11,05% yoy. OJK pun yakin target pertumbuhan 11% hingga 13% secara tahunan akan tercapai. 

Satu sektor yang menjadi penyokong pertumbuhan adalah pertambangan. Pada April 2019, bidang usaha tersebut tumbuh 37,6% yoy. Hal ini ditenggarai oleh perusahaan batu bara yang kembali beraktivitas.

Selain tambang, konstruksi juga berperan signifikan. Per April 2019, kredit yang menyasar pemgangunan infrastruktur, perumahan, dan lainnya ini naik 27,55% yoy. Secara khusus, kredit terkait infrastruktur naik 19,13% yoy, sedangkan perumahan naik 11,76% yoy.

Berdasarkan jenis penggunaan, kredit investasi tumbuh paling tinggi, atau 14,34% yoy. Modal kerja dan konsumsi, masing-masing naik 10,48% yoy dan 9,06% yoy.

Hingga Mei 2019, pertumbuhan kredit investasi masih terjaga. Capaian itu sesuai dengan arah regulator dan otoritas yang mengiginkan penyaluran kredit lebih menyasar segmen produktif.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Khadafi
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper