Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Saat ini belum ada bank kovensional yang memakai sistem komputasi awan ini. Kelebihannya, sistem bank digital ini ramah dengan teknologi perusahaan e-commerce dan dompet digital.
Ilustrasi bank digital/istimewa
Ilustrasi bank digital/istimewa

Raut wajah Jerry Ng tampak semringah. Dengan setelan kaos, celana bahan, dan sepatu sneakers penampilan terlihat sporty. Seperti biasa, bankir senior berusia 55 tahun itu menebar seyum saat menyapa para pewarta.

Pada 15 Agustus 2020 Jerry Ng berjumpa dengan sejumlah wartawan. Pertemuan perdana, setelah setahun sebelumnya mengambilalih PT Bank Artos Tbk. bersama koleganya Patrick Sugito Walujo, pemilik Northstar Group, yang juga menantu pengusaha kawakan TP Rachmat.

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Kala itu bank yang berkode saham ARTO itu belum begitu fenomenal. Sahamnya masih berada di kisaran Rp2.300-an per lembar. Belum ada nama Gojek menjadi investor strategis. Namun, nilai itu melesat dibandingkan dengan harga akuisisi dari tangan keluarga Arto Hary sebesar Rp395 per lembar saham. Pada Agustus 2019 saham yang diakuisisi mencapai 51 persen. 

Harga saham terus melesat hingga menyentuh level Rp10.000 per lembar. Kapitalisasi sahamnya pun sempat menyentuh Rp150 triliun. Hingga menempatkan ARTO sebagai emiten unggulan. Berada pada 10 besar. Bahkan, sempat menggusur PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS).

Berkat lonjakan saham itu, Jerry Ng dinobatkan Forbes sebagai 10 orang terkaya Indonesia. Pria asal Pontianak itu merangsek ke urutan ke-7 dengan pundi-pundi kekayaan bersih US$2,5 miliar atau setara Rp35 triliun per April 2021. Kekayaan itu dihitung dari pergerakan saham ARTO. 

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Kembali pada cerita pertemuan dengan Jerry Ng. Kala itu, mantan Dirut PT Bank BTPN Tbk. dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk. ini bercerita bahwa akan membawa Bank Jago menjadi bank digital.

Apakah bank digital ini sama dengan produk Jenius milik BTPN? Begitu kira-kira pertanyaan yang meluncur. Dia membantah. Menurut bankir yang malang melintang selama 30 tahun ini di bank ini, ada dua konsep mendasar di ARTO. Dari sisi teknologi dan kolaborasi dengan ekosistem.

Dari sisi teknologi, bank ini akan mengadopsi sistem penyimpanan komputasi awan (cloud). Saat ini belum ada bank yang memakai sistem ini. Kelebihannya, sistem ini ramah dengan teknologi perusahaan e-commerce dan dompet digital.

Bila keran regulasi sistem pembayaran (Bank Indonesia) dan bank digital (Otoritas Jasa Keuangan) dibuka, konvergensi bank digital dengan dompet digital macam Gopay, OVO, dan LinkAja akan lebih mudah. Keuntungan bagi konsumen, tidak perlu membuka aplikasi bank untuk isi saldo dompet digital.

Guna memperkuat transformasi ini, Jerry Ng mengaet koleganya yang pernah bekerja bersama di Bank BTPN. Ada Kharim Siregar, yang dulu Direktur TI Bank BTPN, didapuk menjadi CEO Bank Jago. Belum lagi ada nama Peterjan Van Nieuwenhuizendigital spesialis teknologi yang ditunjuk menjadi Direktur TI dari sebelumnya Head Digital di BTPN.

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Adapun sinyal kolaborasi ekosistem yang disampaikan Jerry Ng tadi diwujudkan dengan ‘menyerahkan’ 22,16% atau 1,96 miliar lembar saham ARTO kepada Gojek. Ada mahar Rp2,25 triliun dari kemitraan itu. Nilai itu setara Rp1.150 per lembar saham per tanggal transaksi 18 Desember 2020.

Tak hanya itu. Guna memperkuat korporasi, Jerry Ng mengundang GIC Private Limited, perusahaan investasi pelat merah Singapura, untuk menjadi mitra strategis dengan kepemilikan 9,67%. Dari sejumlah aksi korporasi itu, total modal dikumpulkan ARTO mencapai Rp8 triliun.

Langkah Jerry Ng dan Patrick Walujo menginisiasi bank digital ini diikuti oleh konglomerasi lain. Yang paling agresif adalah pemodal asal luar negeri, dan berlatar belakang perusahaan teknologi.

Alibaba melalui perusahaan teknologi finansial miliknya di Indonesia, PT Akulaku Silvrr Indonesia, mengakuisisi PT Bank Yudha Bakti Tbk. Bank berkode saham BBYB itu berganti nama menjadi Bank Neo Commerce.

Namun, usaha perusahaan milik Jack Ma untuk meningkatkan kepemilikan menjadi mayoritas di BBYB belum berjalan mulus. Beredar isu otoritas di China belum memberikan rekomendasi menyusul memanasnya hubungan politik dengan Presiden Xi Jinping yang berbuntut tertundanya penawaran saham perdana Ant Financial, sayap bisnis keuangan Alibaba.

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Rekomendasi dari otoritas calon juragan baru sebuah bank adalah syarat mutlak dari OJK. Kedua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sebelumnya menyampaikan bahwa surat rekomendasi calon investor dibutuhkan sebagai wujud legalitas dan resiprokal antarnegara.

Rencananya Akulaku akan meningkatkan kepemilikan saham di BBYB menjadi 27,25% dari saat ini 24,98% melalui penawaran saham terbatas. Aksi korporasi itu akan meningkatkan status Akulaku sebagai pemegang saham pengendali, menggeser posisi Gozco Capital.

Bila proses alih saham pengendali berjalan mulus, kepemilikan saham di BBYB akan melengkapi sayap bisnis e-commerce dan logistik. Alibaba memiliki saham di Tokopedia dan Lazada, sedangkan di logistik baru  saja mengakuisisi PT Trimuda Nuansa Citra Tbk. (TNCA).

Berikutnya ada Sea Group. Perusahaan teknologi asal Singapura itu belum lama ini mengambil alih PT Bank Kesejahteraan Ekonomi. Bank yang didirikan oleh orang tua Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Sumitro Djojohadikusumo, itu kini berganti nama Sea Bank.

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Ada kabar bahwa Sea Group, pemilik Shopee, masih mengincar satu bank lagi. Langkah itu adalah buah dari diskresi regulator. Investor yang bukan berlatar belakang lembaga keuangan harus membeli dua bank, dan dimerger bila ingin menjadi pengendali di sebuah bank.

Menurut informasi, Sea Group, yang di Indonesia bermitra juga dengan ponakan Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan, Pandu Sjahrir, membidik sejumlah bank. Salah satunya PT Bank Bumi Artha Tbk. Selain itu, sempat muncul nama PT Bank Capital Tbk.

Akan tetapi, belakangan ini Bank Capital disebut-sebut lebih dekat dengan calon investor Grab Indonesia.

Melalui OVO, Grab dikabarkan melakukan penjajakan untuk mengakuisisi bank berkode saham BACA itu. Sejumlah eksekutif OVO diketahui hijrah ke anak usaha BACA meski sempat ditepis oleh manajemen bank itu.

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Selain pemodal asing, taipan lokal pun mencoba keberuntungan. Pengusaha Chairul Tanjung melalui CT Corp mengakuisisi PT Bank Harda Internasional Tbk. Bank berkode saham BBHI itu akan disulap menjadi bank digital.

BBHI akan melakukan penawaran saham terbatas dengan menerbitkan 7,5 miliar lembar saham baru. Hal ini untuk memenuhi ketentuan modal minimal otoritas. Ada rumor yang berkembang CT Corp akan menggandeng investor asing. Namun, namanya masih terkunci rapat.

Djarum Group melalui PT Bank Central Asia Tbk. juga merintis bank digital. Perusahaan milik taipan Hartono bersaudara itu mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia. Kini bank itu berganti nama menjadi Bank Digital BCA.

Satu lagi adalah PT Bank Net Syariah Tbk. yang bermigrasi menjadi bank digital. Emiten berkode saham BANK itu akan menjadi bank syariah pertama yang berstatus bank digital.

Pun perubahan di bank ini pun begitu cepat. Meski baru setahun berganti nama dari PT Maybank Syariah Indonesia menjadi PT Bank Net Syariah, kemarin diubah lagi menjadi PT Bank Aladin Syariah Tbk.

Kala Konglomerat 'Demam' Bank Digital

Harga sahamnya pun melesat menyentuh Rp3.000. Padahal saat IPO awal Februari 2021 hanya dibanderol Rp100 per lembar. Sejumlah nama terkenal menghiasi jajaran direksi BANK. Mulai jebolan eksekutif OVO hingga anak Menlu Retno Marsudi, Dyota Marsudi.

Persaingan bank digital ke depan bakal semakin keras. Saat regulasi belum diterbitkan oleh OJK, para konglomerat jor-joran membangun bank digital. Otoritas sendiri akan merilis aturan pada semester I tahun ini.

Riuh rendah para taipan di bank digital ini apakah memang menjanjikan ceruk pasarnya? Realitasnya revolusi teknologi menciptakan disrupsi. Mau tidak mau semua sektor akan terdampak, termasuk industri perbankan.

Memang tidak semua layanan keuangan bisa dilayani secara digital untuk saat ini. Namun, sebuah keniscayaan akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Covid-19 menjadi pemicu utama percepatan untuk menuju digital. Bahkan, perubahan gaya hidup ini akan menjadi permanen.

Dengan ceruk pasar cukup besar di Indonesia, terutama belum layak berbank, menjadi kue margin yang embuk untuk disasar bank digital. Akan tetapi, harus disertai dengan kenyamanan keamanan, dan bunga kredit yang lebih murah dari bank konvensional.

Lalu siapa yang akan menjadi juaranya dalam persaingan bank digital ini? Meskipun dinilai lebih efisien dari bank konvensional, bank digital membutuhkan investasi tidak sedikit. Setiap waktu harus ada inovasi dari sisi teknologi. Biayanya tidak murah.

Oleh sebab itu, pemegang saham berkantong tebal yang menjadi kunci utama, selain ditopang oleh manajemen dan model bisnis yang kuat. Kita sebagai nasabah tentu hanya berharap kemudahan dan keamanan dalam bertransaksi, tentu dengan biaya murah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper