Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Suku Bunga Acuan BI 3,5 Persen Diprediksi Bertahan hingga Akhir Tahun

Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai dalam menentukan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur Mei 2021, BI akan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang mulai mengarah pada pulih.
Kantor Bank Indonesia di Jakarta/Reuters-Iqro Rinaldi
Kantor Bank Indonesia di Jakarta/Reuters-Iqro Rinaldi

Bisnis.com, JAKARTA - Ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) dinilai semakin terbatas. Dengan demikian, tingkat suku bunga acuan sebesar 3,5 persen saat ini akan menjadi level yang terendah tahun ini.

Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai dalam rapat penentuan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur Mei 2021, BI akan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang mulai mengarah pada pulih.

Pasalnya, ketika aktivitas ekonomi kembali bergerak dan pulih, dikhawatirkan akan memberikan tekanan pada inflasi ke depan.

“Sebelumnya BI telah mengubah ekspektasi pertumbuhan ekonomi 2021 jadi lebih rendah. Jadi, pertimbangan untuk menahan suku bunga kali ini lebih karena ekspektasi dan pergerakan ekonomi yang mulai membaik,” katanya kepada Bisnis, Senin (24/5/2021).

Menurut David, jika BI kembali menurunkan suku bunga acuan, justru keputusan tersebut menunjukkan kondisi perekonomian. Artinya, pelaku usaha masih memutuskan untuk menunda pengambilan kredit.

“Kebalikan dari persepsi umum, justru kalau suku bunga cenderung sudah stabil dan ada ekspektasi naik, biasanya penyaluran kredit meningkat,” jelasnya.

VP Economist Bank Permata Josua Pardede memperkirakan keputusan mempertahankan suku bunga pada bulan ini sejalan dengan pertimbangan BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Dari sisi global, mulai terjadi tekanan yang tercermin dari transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang kembali mengalami defisit pada kuartal I/2021 sebesar US$997 juta atau setara dengan 0,4 persen dari PDB. Padahal, transaksi berjalan pada kuartal III dan IV 2020 tercatat positif.

“Kembali defisitnya transaksi berjalan mengindikasikan risiko pelemahan rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat ke depan kembali meningkat, apalagi sejalan dengan kembalinya aktivitas ekonomi, impor cenderung bertumbuh,” katanya.

Sementara di sisi lain, tekanan pada inflasi diperkirakan masih terbatas dikarenakan dorongan permintaan pada di jangka pendek, meskipun trennya meningkat.

“Oleh karena itu, berdasarkan risiko dari nilai tukar yang cenderung volatil, BI diperkirakan masih akan menjaga tingkat suku bunganya pada RDG mendatang,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper