Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang RDG, Ini 3 Alasan BI Harus Naikkan Suku Bunga Acuan 25 Bps

LPEM UI mengungkapkan 3 alasan Bank Indonesia sebaiknya menaikkan suku bunga acuan 25 Bps pada RDG pada Kamis (19/1/2023).
Tangkapan layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG BI), Kamis (22/8/2022)/Youtube Bank Indonesia.rn
Tangkapan layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG BI), Kamis (22/8/2022)/Youtube Bank Indonesia.rn

Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) dinilai masih perlu menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 19 Januari 2022.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyampaikan bahwa kenaikan suku bunga acuan masih diperlukan sebagai upaya BI untuk menjaga stabilitas rupiah dan mengurangi tekanan inflasi.

Menurutnya, tingkat inflasi pada akhir Desember 2022 tercatat mencapai 5,51 persen, berada di atas target BI pada kisaran 2 hingga 4 persen.

Riefky mengatakan peningkatan inflasi selama tahun 2022 banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga energi dan pangan global, penyesuaian kenaikan harga BBM bersubsidi, dan peningkatan permintaan domestik. Sementara tingkat inflasi pada 2023 diperkirakan akan kembali ke dalam koridor sasaran bank sentral antara 2 hingga 4 persen. 

“Hal ini sejalan dengan menurunnya inflasi global meskipun banyak ketidakpastian yang datang dari perang Rusia-Ukraina, risiko resesi global, dan bagaimana China menangani dampak pelonggaran kebijakan zero-Covid,” katanya, Rabu (18/1/2023).

Lebih lanjut, tren in flow di negara berkembang masih berlanjut seiring dengan tren penurunan inflasi di Amerika Serikat (AS) dan kebijakan yang kurang agresif oleh sebagian besar bank sentral.

Tercatat, sebesar US$1,07 miliar modal asing memasuki pasar keuangan Indonesia sejak pertengahan Desember 2022, yang memicu penurunan imbal hasil obligasi pemerintah 1 tahun menjadi 5,54 persen pada pertengahan Januari 2023 dari 5,60 persen pada pertengahan Desember 2022. 

Penurunan imbal hasil juga terlihat pada obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun yang turun menjadi 6,91 persen pada pertengahan Januari 2023 dari 7,04 persen pada pertengahan Desember 2022.

Dengan perkembangan tersebut, rupiah mengalami apresiasi sebesar 2,68 persern secara tahun berjalan menjadi Rp15.145 per dolar AS pada 17 Januari 2023.

Di sisi lain, siklus pengetatan kebijakan moneter global diperkirakan akan mereda pada awal 2023 karena laju inflasi yang mulai melandai. Pasar berekspektasi bahwa the Fed hanya akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin pada pertemuan FOMC di bulan Januari.

“Mempertimbangkan kemungkinan kenaikan suku bunga the Fed pada Januari, menjaga stabilitas rupiah di tengah aliran modal yang bergejolak, dan inflasi saat ini yang berada jauh di atas target, BI masih perlu melanjutkan siklus pengetatan moneternya dengan menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 25 basis poin,” kata Riefky.

Dia menjelaskan, meski laju kenaikan suku bunga the Fed melambat, namun perbedaan imbal hasil antara obligasi pemerintah Indonesia dan US Treasury masih cukup tipis. 

Oleh karena itu, kenaikan suku bunga lebih lanjut diperlukan untuk mempertahankan perbedaan suku bunga, juga membantu mengurangi potensi jumlah arus modal keluar, menstabilkan pergerakan rupiah, serta mengurangi tekanan inflasi yang disebabkan oleh barang-barang impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper