Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bos BBRI, BMRI, & BBNI Jawab Tren Margin Bunga Tinggi Bank di RI

Petinggi bank BUMN menjawab soal anggapan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) bank di Indonesia yang terlampau tinggi.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Darmawan Junaidi./Tangkap layar
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) Darmawan Junaidi./Tangkap layar

Bisnis.com, JAKARTA — Petinggi bank berpelat merah yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) menjawab soal anggapan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) bank di Indonesia yang terlampau tinggi.

Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan NIM di perbankan di Indonesia memang tinggi, namun kini mengalami penurunan. BRI sendiri per 2010 mencatatkan NIM 10,7 persen. Kemudian, per 2022 NIM BRI ada pada level 6,8 persen. NIM BRI pada 2022 itu turun 9 basis poin (bps) secara tahunan (year-on-year/yoy).

Ia mengatakan tren penurunan NIM tidak serta merta membuat keuntungan perseroan berkurang. "Sejak 2010 laba terus meningkat hingga 10 kali lipatnya, padahal NIM terus turun. Jadi kalau begitu, besarnya laba itu bukan disumbang NIM, tapi semakin banyak rakyat dapat kredit dari BRI," kata Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bank-bank BUMN dengan Komisi VI DPR pada Selasa (28/3/2023).

Selain itu, Sunarso menegaskan bahwa penyumbang keuntungan BRI terutama pada 2022 bukanlah NIM. "Kami mampu kembangkan fee based income. Itu hasil dari transformasi," ujarnya.

Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi juga mengatakan ke depan, NIM perbankan diprediksi akan memasuki tren yang flat. "NIM Bank Mandiri sendiri stuck di level 4 persen. Bahkan, ada pendapat bank wholesale seperti Bank Mandiri NIM-nya sulit untuk tumbuh," katanya.

Sementara, Bank Mandiri sendiri mencatatkan peningkatan NIM 43 bps dari 4,73 persen pada 2021 menjadi 5,16 persen pada 2022.

BNI juga mencatatkan peningkatan NIM 14 bps dari level 4,67 persen pada akhir 2021 menjadi 4,81 persen pada akhir tahun lalu.

Wakil Direktur Utama BNI Adi Sulistyowati mengatakan perseroan tidak hanya fokus kepada NIM dalam mendulang keuntungan, tapi juga gencar bertransformasi. "Kita fokus ke fee based income, menguatkan IT kita, serta menguatkan data driven agar berikan layanan yang baik ke nasabah," katanya.

Sebelumnya, NIM perbankan telah menjadi sorotan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan menilai posisi NIM perbankan nasional masih terlalu tinggi, yakni mencapai 4,4 persen sepanjang 2022. "Tinggi banget, ini mungkin tertinggi di dunia," pungkas Jokowi saat menyampaikan pidato pembukanya dalam acara pertemuan tahunan industri jasa keuangan (PTIJK) 2023 pada bulan lalu.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae juga mengatakan NIM perbankan menjadi perhatian karena dinilai terlalu tinggi. "Ada concern agar jangan sampai tingkat suku bunga tinggi menghambat bisnis, jadi tidak bantu sektor tertentu seperti UMKM [usaha mikro, kecil, dan menengah]," ujarnya.

Menurutnya, NIM yang besar memang dianggap membawa keuntungan semata bagi perbankan dilihat dari marjin suku bunga pinjaman yang besar, sementara suku bunga simpanan yang kecil. Namun, menurutnya NIM yang besar itu banyak pertimbangan.

"Banyak hal yang bisa diteliti, pastikan berapa tingkat suku bunga ideal atau marjin yang didapat bank dari pinjaman serta dana simpanan," ungkap Dian.

Untuk itu, bank mesti menunjukkan komponen apa saja yang menyebabkan tingginya NIM. "Misalnya, apakah ini karena efisiensi bank, mungkin high cost economy, atau lainnya," ujar Dian.

Berdasarkan laporan asesmen Bank Indonesia, NIM perbankan Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara peers atau negara dengan tingkat setara. Sejak 2018 hingga 2021, NIM perbankan Indonesia berada pada kisaran 4-5 persen, lebih tinggi dibandingkan NIM perbankan di negara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina yang berada di bawah 4 persen. 

Laporan itu menyebutkan tingginya NIM perbankan Indonesia karena spread suku bunga yang relatif lebih lebar. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya biaya kredit perbankan, tercermin antara lain dari rasio biaya overhead dan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) terhadap kredit perbankan Indonesia yang relatif lebih tinggi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper