Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dua Sisi Kebijakan Pembebasan Napi

Kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly kembali menjadi kontroversi. Keputusannya membebaskan puluhan ribu narapidana di tengah pandemi virus corona menuai reaksi.

Bisnis.com, JAKARTA — Nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly ramai dibicarakan sejak awal April 2020. Kebijakan pembebasan narapidana di tengah pandemi virus corona menjadi sebab.

Sebagian pihak menilai kebijakan ini justru membuat masyarakat khawatir akan naiknya tingkat kriminalitas. Alasannya, kondisi ekonomi saat ini sedang melesu karena terbatasnya aktivitas akibat Covid-19. Tak sedikit karyawan yang dirumahkan atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan tempat mereka bekerja tak lagi sanggup beroperasi maupun membayar gaji.

Kebijakan itu bahkan membuat Yasonna harus menghadapi gugatan hukum. Pada Kamis (23/4/2020), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H) melayangkan gugatan terkait kebijakan pembebasan narapidana ke Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, Jawa Tengah.

"Telah didaftarkan gugatan perdata terkait kontroversi kebijakan pelepasan Napi melalui asimilasi oleh Menkumham, di mana para napi yang telah dilepas sebagian melakukan kejahatan lagi dan menimbulkan keresahan pada saat pandemi. Kami mewakili kepentingan masyarakat yang justru harus ronda di kampung-kampung wilayah Surakarta bahkan keluar biaya untuk membuat portal di jalan masuk gang," ujar Ketua Umum Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997 Boyamin Saiman dalam keterangannya, Minggu (26/4).

Dia menyatakan gugatan ini diajukan dengan tujuan mengembalikan rasa aman masyarakat. Meski gugatan didaftarkan ke PN Surakarta, Boyamin yakin jika gugatan ini dikabulkan, maka akan berlaku di seluruh Indonesia.

Dalam gugatan itu, Yasonna diminta menarik kembali napi asimilasi serta melakukan seleksi dan psikotest secara ketat jika hendak melakukan kebijakan asimilasi lagi. Menkumham dan jajaran di bawahnya, termasuk Kakanwil, Kepala Lapas, dan Rutan dinilai menerapkan syarat yang sederhana, tanpa meneliti secara mendalam watak napi dengan psikotes sehingga mereka kembali berbuat kejahatan.

"Jadi yang dipersalahkan adalah teledor, tidak hati-hati, dan melanggar prinsip pembinaan pada saat memutuskan napi mendapat asimilasi," sambung Boyamin.

Yasonna dan jajarannya juga dinilai tidak mengawasi narapidana yang mendapat asimilasi. Padahal, mereka masih berstatus sebagai napi, yang berarti pembinaan dan pengawasan masih tetap menjadi tanggung jawab Kemenkumham.

Meski demikian, Yasonna tak bergeming. Dia tidak mempermasalahkan gugatan itu.

"Apabila ada yang menggugat kebijakan pembebasan warga binaan pemasyarakatan atau narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi karena mencegah pandemi Covid-19 di lapas [lembaga pemasyarakatan], rutan [rumah tahanan], dan LPKA [Lembaga Pembinaan Khusus Anak] lewat jalur hukum, silakan saja," papar Yasonna dalam keterangan resminya, Selasa (28/4).

Secara keseluruhan, per Senin (20/4), ada 38.822 napi dan anak binaan yang dibebaskan dalam program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.

Perinciannya, 36.641 orang yang bebas lewat program asimilasi, yakni program membina napi dengan membaurkan mereka ke masyarakat.. Sebanyak 35.738 orang berstatus narapidana kasus umum dan 903 anak.

Adapun 2.181 orang lainnya dibebaskan dalam program integrasi, yang diberikan kepada napi dan anak yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Jumlah ini terdiri atas 2.145 narapidana dan 36 anak.

"Paling banyak di Kepolisian Daerah Jawa Tengah," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Argo Yuwono, Minggu (26/4).

Menurutnya, para napi yang masuk dalam program asimilasi tadi melakukan tindak kriminal yang berbeda-beda, seperti narkotika, penipuan, pencurian dengan pemberatan, atau pencurian dengan kekerasan.

"Yang tidak melanggar ada 38.000 lebih. Kenapa tidak diangkat mereka yang baik?" sambung Argo.

Jika melihat tingkat okupansi dan kapasitas lapas di Indonesia, kebijakan tersebut bisa jadi masuk akal.

Berdasarkan data World Prison Brief, kapasitas lapas di Indonesia mencapai 204,9 persen. Bahkan, Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara dengan tingkat kapasitas di lapas tertinggi di Asia.

Sementara itu, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia juga terus bertambah. Per Rabu (29/4), tercatat ada 9.771 kasus positif di seluruh Indonesia.

Kemudian, sebanyak 784 orang meninggal dan 1.391 pasien telah dinyatakan sembuh.

Pandemi Covid-19 seakan menegaskan kembali kenyataan bahwa kondisi lapas dan sistem pembinaan di Indonesia memang masih jauh dari ideal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Infografik Lainnya

Berita Terkini Lainnya

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper