Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bentjok vs BPK: Berseteru Soal Bakrie - Audit Investigatif Jiwasraya

Perseteruan Benny Tjokrosaputro dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terus berlanjut. Sempat panas dingin soal group Bakrie, kali ini Bentjok mempersoalkan hasil audit investigatif BPK yang menjadi dasar Kejagung menyeretnya ke penjara.
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang juga Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk. Benny Tjokrosaputro menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (3/6/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang juga Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk. Benny Tjokrosaputro menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (3/6/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA -- Benny Tjokrosaputro atau Bentjok terus melawan vonis seumur hidup. Selain mengajukan banding, Bentjok juga sedang menggugat hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pihak Bentjok beralasan, audit investigatif BPK yang menemukan adanya kerugian negara dalam kasus Jiwasraya itu penuh dengan kejanggalan.

Seperti diketahui, BPK telah mengeluarkan audit investigasi terkait kasus korupsi Asuransi Jiwasraya (ASJ). Hasil investigasi tersebut menyimpulkan adanya kerugian negara senilai Rp16,8 triliun.

Benny Tjokro adalah salah satu pelaku utama korupsi dana investasi Jiwasraya. Bersama koleganya, Heru Hidayat, dia terlibat dalam skandal jahat untuk 'memainkan' dana investasi milik nasabah Asuransi Jiwasraya.

Bentjok dan Heru Hidayat sendiri telah divonis seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

dartar investasi jiwasraya
dartar investasi jiwasraya

Sumber: Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

Penasihat hukum Bentjok, Bob Hasan mnegungkapkan bahwa alasan diajukannya gugatan ke PTUN dipicu oleh hasil audit investigatif BPK yang sifatnya masih perkiraaan. Padahal, menurutnya, untuk sebuah perkara korupsi, penghitungan kerugian negara seharusnya jelas dan pasti.

Dia menjelaskan berdasarkan pemeriksaan perkara di putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Bentjok dikenakan Rp6 triliun dengan kira-kira dibagi dua bersama heru dari angka Rp12 triliun. Namun angka itupun tak pernah muncul di pengadilan.

Artinya, dengan fakta yang terungkap selama di pengadilan, versi Bentjok, hasil audit BPK tidak cukup kuat untuk menyeret Bentjok ke pengadilan bahkan hingga akhirnya divonis seumur hidup.

"Ternyata di pengadilan pun belum jumpa angka yang pasti itu. Mengingat atas putusan belum memiliki ketetapan hukum atau incraht maka kita juga baru mendapatkan akan obyek gugatan ( laporan investigative BPK)," tegasnya.

Adapun dalam petitum gugatan yang didaftarkan pada Jumat (26/2/2021), Bentjok meminta hakim PTUN memutuskan 6 pokok gugatan.

Pertama, mengabulkan gugatan untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan batal atau tidak sah Surat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif yang dikeluarkan oleh BPK karena bertentangan dengan Peraturan yang berlaku Keputusan BPK.

Ketiga, memerintahkan untuk mencabut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif dengan segera dan tanpa syarat apapun. Keempat, mewajibkan BPK untuk membayar ganti rugi terhadap Benny Tjokro.

Kelima, memerintahkan kepada BPK untuk menerbitkan Surat Keputusan yang berisi tentang rehabilitasi namanya ke dalam status, kedudukan, harkat dan martabatnya semula sebagai warga negara yang baik. Keenam, membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada BPK.

Seperti diketahui pemeriksaan investigatif terkait penghitungan kerugian negara atas pengelolaan keuangan dan dana investasi PT. Asuransi Jiwasraya Tahun 2008 -- 2018 Nomor : 06/LHP/XXI/03/2020 Tanggal 9 Maret 2020 menemukan adanya kerugian negara senilai Rp16,8 triliun.

Penghitungan kerugian negara tersebut terjadi dalam pembelian 4 saham (BJBR, PPRO, SMBR dan SMRU) dan 21 reksa danapada 13 (tiga belas) Manajer Investasi.

BPK menyebutkan bahwa kerugian negara atas investasi saham disebabkan oleh nilai perolehan saham yang dibeli oleh Jiwasraya tidak sesuai dengan ketentuan, yang diatur oleh Bentjok Cs dan masih berada dalam portofolio PT AJS pada per 31 Desember 2019.

Sementara, kerugian negara atas investasi reksa dana adalah nilai perolehan reksa dana yaitu dana yang dikeluarkan oleh Jiwasraya untuk membeli unit penyertaan reksa dana (subscription) yang digunakan untuk membeli efek-efek namun dikendalikan oleh pihak terafiliasi Heru Hidayat & Bentjok.

Sayangnya, BPK belum menanggapi seputar gugatan yang dilayangkan Bentjok ke PTUN tersebut. Auditor Utama Investigasi BPK I Nyoman Wara tak menjawab permintaan konfirmasi tertulis yang diajukan Bisnis.

Berseteru Soal Bakrie

Benny Tjokrosaputro alias Bentjok seketika meradang karena merasa dizalimi dan diperlakukan tidak adil penegak hukum. Menurut Bentjok, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak transparan dan terkesan pilih-pilih.

Dia pernah secara spesifik menuduh lembaga auditor negara ini melindungi Grup Bakrie, yang merupakan milik politisi dan konglomerat Abu Rizal Bakrie.

"Jiwasraya banyak membeli bertransaksi saham-saham Grup Bakrie, terutama sebelum 2008, kenapa mereka tidak disidik?," keluh Bentjok dalam surat yang beredar luas, Selasa (30/6/2020).

Dalam pikiran cucu pendiri Batik Keris ini, jumlah kepemilikan saham Jiwasraya di Grup Bakrie jauh lebih besar dibandingkan perusahaan yang dikendalikannya. Artinya, jika mengikuti logika penegakan hukum, seharusnya Grup Bakrie juga ikut bertanggung jawab dalam pusaran skandal Jiwasraya.

Namun, karena hanya Bentjok yang didakwa bertanggung jawab atas kerugian Jiwasraya, tentu ini memunculkan kejanggalan. Bentjok, merasa dirinya hanya menjadi kambing hitam. Sementara BPK menurutnya, dianggap menjadi pagar pelindung pelaku kakap lainnya.

"[Pertanyaannya] Siapa yang menyuruh?," tanyanya.

Sampai sekarang belum jelas siapa yang berkepentingan terhadap polemik Skandal Jiwasraya ini. Namun, di luar konteks siapa yang menjadi "pemain utama" skandal ini, keberadaan Bakrie & Brothers (BNBR) sebenarnya bisa dilacak dalam laporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK tahun 2016 lalu.

Hasil pemeriksaan BPK diketahui bahwa pada 30 Desember 2015, terjadi transaksi pembelian saham saham BNBR sebanyak 1.433.712.000 lembar saham dengan harga per lembar saham sebesar Rp43,00 atau senilai Rp61,6 miliar.

Transaksi ini merupakan pembelian saham BNBR dari produk unit link ke produk nonunit link (konvensional) yang sama sama-sama dimiliki Jiwasraya. Persoalannya, transaksi tersebut tidak dilakukan sesuai harga pasar yang berlaku dan sengaja dilakukan untuk memanfaatkan momentum window dressing pada Laporan Keuangan.

Indikatornya sangat jelas, BPK menyebut berdasarkan data transaksi diketahui bahwa nilai transaksi pembelian yang dilakukan atas saham-saham tersebut pada umumnya lebih tinggi dari harga pasar.

Pembelian saham BNBR, lanjut laporan itu termasuk RODA dan MTFN, untuk transaksi tanggal 30 Desember 2004 dan 2015 yang dilakukan mendekati periode tutup buku laporan keuangan unit link dimaksudkan supaya seolah-olah unit link tersebut memiliki kinerja yang cukup baik.

Namun demikian, jika dilihat dari sisi nilai transaksi, jumlah tersebut sangat jauh dibandingkan dengan yang disebutkan Bentjok. Dalam catatan Bisnis, yang juga terkonfirmasi dalam audit BPK, ada beberapa saham milik atau terafiliasi dengan Grup Bakrie yang dimiliki Jiwasyara.

Misalnya, PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) per 2015 lalu, Jiwasraya memiliki 25,6 juta lembar saham dengan nilai Rp6,4 miliar atau MTFN dengan kepemilikan saham sebanyak 5,8 miliar lembar atau senilai Rp293,2 miliar.

Yang menarik, alih-alih menjawab "nyanyian" Bentjok secara proporsional, Bos BPK Agung Firman Sampurna justru ingin mempolisikan bos PT Hanson Internasional Tbk dengan tuduhan mencemarkan nama baik.

Agung mengatakan bahwa BPK sangat menghormati proses penegakan hukum, sehingga tidak akan masuk ke substansi yang telah menjadi ranah pengadilan.

Dia memahami, bahwa tidak ada satupun manusia yang nyaman diperiksa apalagi harus berhadapan dengan aparat penegak hukum, mengikuti proses peradilan, lebih lagi jika sampai berstatus terdakwa.

"Tapi bagi yang diduga, disangka apalagi sampai didakwa melakukan perbuatan melawan hukum, tentunya mempertangungjawabkan semua perbuatannya secara hukum: tangan mencencang, bahu memikul!," katanya tegas beberapa waktu lalu.

Beda Nasib Hary & Heru

Selain Bentjok, upaya untuk melawan putusan seumur hidup juga diajukan oleh bekas Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo dan bos PT Trada Alam Minera Tbk (TRADA) Heru Hidayat. Keduanya diketahui mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.

Namun demikian, nasib kedua terdakwa yang sama-sama divonis seumur hidup itu agak berbeda. Hary Prasetyo mendapatkan keringanan di tingkat banding dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.

Sementara itu, Heru Hidayat tetap harus menanggung beban dihukum seumur hidup penjara. Tak hanya itu, dia juga harus membayar ganti rugi kerugian negara senilai Rp10,73 triliun.

Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman seumur terhadap dua terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yakni  Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.

Dengan demikian, keduanya mengikuti jejak empat terdakwa lain dalam perkara ini yang juga dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Majelis Hakim.

Mereka adalah eks Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman, Eks Dirkeu Jiwasraya Hary Prasetyo, dan Eks Kepala Divisi Investasi Jiwasraya Syahmirwan dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto. 

Mereka semua diyakini terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan negara senilai Rp16,8 triliun.

Namun, Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat dengan pidana uang pengganti. Benny yang merupakan Komisaris PT Hanson International Tbk. dihukum pidana uang pengganti senilai Rp6,08 triliun.

Sementara itu mentara itu, Heru Hidayat yang merupakan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera dihukum dengan pidana uang pengganti senilai Rp10,73 triliun.

"Menyatakan Terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," kata Hakim Rosmina. 

Jika uang pengganti itu tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah incracht, maka harta benda Heru akan disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutup uang pengganti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper