Author

Harry Andrian Simbolon

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Menggugat Hasil Valuasi Bisnis Startup

Harry Andrian Simbolon
Kamis, 26 Januari 2023 | 09:59 WIB
Ilustrasi Startup. Bisnis/Arief Hermawan P
Ilustrasi Startup. Bisnis/Arief Hermawan P
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Winter is coming. Subjudul dari serial film Game of Thones itu sangat layak menggambarkan kondisi ekosistem digital dunia saat ini. Bahkan saya menyebutnya bukan lagi winter tetapi frozen.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perusahaan startup digital yang bertumbangan bahkan perusahaan teknologi yang sudah cukup mapan sekalipun, seperti facebook, google dan microsoft, yang melakukan pengurangan karyawannya dalam jumlah besar. Kondisi ini makin memperjelas ada sesuatu yang tidak beres dalam iklim digital saat ini.

Dalam penelusuran saya, terdapat sederet nama startup Indonesia yang mengalami kebangkrutan dan bahkan terpaksa harus gulung tikar, seperti Fabelio, Airy Room, Stoqo, Qlapa, Sorabel, dan banyak lagi lainnya. Daftar itu makin melengkapi daftar startup global yang terlebih dahulu bertumbangan seperti CommonBond, Reali, Airlift, Volt Bank, dan lain sebagainya.

Seperti kita ketahui startup adalah perusahaan yang baru didirikan, biasanya menggunakan pendekatan teknologi digital dalam menjalankan bisnisnya. Masing-masing startup memiliki kekuatan bersaing dan tumbuh, yang menurut founder-nya disebut dengan value preposition. Value preposition inilah yang menjadi “alat jualan” untuk menarik investor agar mau menempatkan dananya dalam startup tersebut, dengan janji pertumbuhan yang berkali-kali lipat di masa yang akan datang.

Perusahaan startup umumnya membutuhkan dana besar di awal pendiriannya untuk menjalankan operasionalnya, oleh karena itu diperlukan dana yang relatif besar dan berkesinambungan. Tanpa dana tersebut maka janji untuk melakukan scale up atas value preposition itu tentunya tidak akan tercapai. Seiring berjalannya waktu, model bisnis startup akan diuji oleh mekanisme pasar (active user, traction, dll) dan runway pendanaan yang tersedia. Hasil pengujian inilah yang menjadi puncak masalah dalam tulisan ini.

Permasalahannya terletak dari “jualan” model bisnis tersebut, yang oleh profesi penilai dijustifikasi dengan apa yang disebut “proyeksi keuangan”. Sering sekali proyeksi pertumbuhan startup hasil dari valuasi meleset jauh dari kondisi rilnya.

Demikian juga dalam melakukan valuasi bisnis, nilai dari suatu bisnis startup yang disajikan cenderung overstated. Bahkan JP Morgan, investment banker nomor wahid kelas dunia pun juga tertipu menggunakan hasil valuasi bisnis ini saat mengakuisisi startup Frank pada 2021. JP Morgan merasa tertipu dari data pengguna aplikasi tersebut yang digunakan sebagai basis penentuan nilai akuisisi bisnis Frank.

Profesi penilai memang memiliki standar penilaian sendiri, di Indonesia disebut dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI). SPI adalah pedoman dasar yang harus dipatuhi oleh Penilai dalam melakukan penilaian. Dari sisi regulator, OJK juga telah mengeluarkan Peraturan OJK No. 35/2020 tentang penilaian dan penyajian laporan penilaian bisnis di pasar modal. Peraturan ini memang spesifik berlaku hanya bagi entitas yang listing di Pasar Modal Indonesia. Regulasi dan standar tersebut sudah cukup memadai tetapi mengapa startup yang menggunakan output dari penilai terus saja bertumbangan, masih menjadi tanda tanya besar.

Dalam dunia startup, meskipun valuasi menjadi “nadi”, tetapi cash tetap menjadi “raja”. Tanpa cash, operasional startup tidak akan bisa berjalan, itulah mengapa model bisnis startup adalah mencari dana dari investor melalui serangkaian putaran pendanaan. Dana yang tersedia akan menentukan seberapa lama startup akan dapat berjalan. Valuasi selalu dijadikan senjata untuk menarik investor, sebisa mungkin valuasi dibuat semenarik mungkin dengan beragam metrix-metrix penilaian yang mendukung. Konsep inilah yang dianggap menjadi kitab suci oleh para founder startup, yaitu valuasi sama dengan uang.

Perlu saya luruskan bahwa doktrin itu salah besar. Saya ingat sekali dalam satu kesempatan Bapak Kartika Wirjoatmodjo Wakil menteri BUMN, atau yang biasa dipanggil Tiko, mengatakan: “equity kok digunakan untuk operasional”. Pernyataan Pak Tiko ini adalah basic dari ilmu keuangan, bahwa equity sebaiknya digunakan sebagai alat produksi, menjadi capexnya perusahaan untuk menghasilkan revenue yang kemudian dapat dikonversi menjadi cashflow, bukan malah sebaliknya.

Kasus yang terbaru adalah TaniHub. Startup ini pernah disanjung-sanjung oleh Presiden Joko Widodo, tetapi sekarang menjadi bahan pergunjingan masyarakat karena insolvensi. TaniHub diajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh PT Alpha Swara Konsultan dan Ludwina Emilia Maks dengan nomor perkara 363/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga Jkt Pst. Kasus lainnya adalah PHK Masal karyawan Ruang Guru. Ruang Guru pernah disebut sebagai startup fenomenal kebanggaan Indonesia, bahkan pernah mengantarkan founder-nya sebagai staf ahli Presiden. Pada akhir 2022 lalu Ruang Guru harus mem-PHK ratusan karyawannya karena tidak mampu tumbuh seperti proyeksi yang diharapkan.

Pada startup yang lebih besar hal yang sama juga terjadi, yaitu pada Bukalapak dan GoTo. Harga saham kedua unicorn/decacorn ini pada saat IPO dan setelah berapa lama melantai di bursa sangat berbeda jauh. Jika kita merunut proses penentuan harga saham perdana pastilah melibatkan disiplin ilmu valuasi.

Harga yang ditawarkan pada IPO berasal dari serangkaian metodologi penilaian bisnis perusahaan, melibatkan seluruh profesi pendukung, tidak hanya penilai, tetapi juga penasehat keuangan, akuntan, konsultan hukum dan lain sebagainya. Namun, ketika harga yang ditentukan tersebut ternyata berbeda jauh setelah sampai ke pasar, setidaknya dalam kasus Bukalapak dan GoTo, orang-orang akan menuduh valuasi sebagai biang keladinya.

Kasus Bukalapak dan GoTo ini menyita banyak perhatian masyarakat. Tentunya kita tidak ingin ada kasus-kasus serupa lagi yang terjadi, yang merugikan masyarakat luas tentunya. Peran profesi penilai tentu menjadi ujung tombak dalam pembenahan kualitas hasil valuasi bisnis ini, diperlukan fine tunning atas standar penilaian yang ada. Selain itu, Pemerintah sebagai regulator tidak bisa lepas tangan begitu saja membiarkan kasus demi kasus terjadi dalam bingkai mekanisme pasar. Diperlukan andil kuat dalam menata ulang regulasi yang ada.

OJK memang hanya berperan bagi perusahaan yang menjadi perusahaan publik, tetapi siapa yang mengurusi perusahaan nonpublik? Selain itu Kementerian Keuangan yang melakukan pembinaan profesi penilai melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan, perlu melakukan tindakan aktif dalam membenahi kualitas output profesi penilai ini. Peran penasihat keuangan juga perlu masuk dalam tataran regulasi, mereka tidak selalu memiliki lisensi penilai, tetapi merekalah yang menyarankan pembentukan harga.

Pembenahan regulasi dan profesi ini diperlukan sekali untuk mencapai rencana pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan hingga Rp4.818 triliun pada 2030. Untuk mencapai hal tersebut Kominfo telah mengeluarkan Rencana Strategis Kementerian Kominfo 2020—2024 untuk Percepatan Transformasi Digital Nasional. Untuk mendukung rencana besar tersebut, tentunya ekosistem digital indonesia yang sehat mutlak harus menjadi syarat utama, maka dari itu harus dibenahi dari segala dimensi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper